Jurnal Tempo – Italia, negara yang dikenal dengan warisan budaya dan kulinernya, kini memasuki babak baru dalam kebijakan sosial. Legalisasi bisnis prostitusi menjadi topik hangat yang menyulut perdebatan publik dan pemerhati hak asasi manusia. Kebijakan ini bukan sekadar wacana, tetapi mulai diimplementasikan bertahap di beberapa wilayah sebagai proyek percontohan. Pemerintah berdalih bahwa legalisasi justru bisa membawa dampak positif bagi ekonomi dan perlindungan pekerja seks. Selain itu, pendekatan baru ini dinilai lebih realistis dalam menangani praktik yang sudah lama ada di masyarakat luas.
Sejak lama, prostitusi telah menjadi bagian dari lanskap sosial di banyak kota besar Italia. Meski tidak pernah sepenuhnya dilegalkan, praktik ini berlangsung secara semi-tersembunyi dengan berbagai celah hukum. Banyak pekerja seks yang beroperasi di zona abu-abu hukum, sehingga mereka rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Pemerintah sebelumnya menerapkan pendekatan represif, tetapi hasilnya tidak signifikan dalam menurunkan angka praktik tersebut. Kelompok-kelompok feminis dan LSM HAM terus mendesak agar negara memberikan perlindungan hukum yang adil dan setara.
“Baca Juga : Apa Kata Sri Multani Soal Gejolak Ekonomi Dunia?”
Italia mengalami tekanan ekonomi pascapandemi dan krisis energi yang melanda Eropa beberapa tahun terakhir. Legalisasi prostitusi dilihat sebagai peluang pemasukan pajak baru yang bisa menopang anggaran negara. Dengan memperkenalkan regulasi pajak dan kesehatan, pemerintah berharap sektor ini menjadi lebih tertata dan produktif. Potensi pemasukan dari industri ini diperkirakan mencapai miliaran euro jika dikelola secara transparan dan sistematis. Selain itu, banyak pihak berargumen bahwa pendekatan ini lebih masuk akal ketimbang terus memeranginya secara hukum.
Salah satu alasan utama legalisasi adalah demi memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja seks. Tanpa regulasi, mereka bekerja dalam kondisi yang rawan kekerasan, pemerasan, hingga perdagangan manusia. Dengan sistem baru, pekerja diwajibkan mendaftar dan mengikuti pemeriksaan kesehatan rutin setiap bulan. Mereka juga mendapat akses ke asuransi kesehatan, pensiun, serta perlindungan hukum dalam kasus kekerasan atau eksploitasi. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya menciptakan sistem yang lebih manusiawi dan berbasis hak asasi.
“Simak juga: Android Minimalis: HMD Key Resmi Memulai Tren Baru”
Setiap pekerja diwajibkan mendaftarkan diri melalui sistem yang terintegrasi secara digital. Data mereka dilindungi undang-undang privasi dan hanya digunakan untuk keperluan administratif. Pemeriksaan kesehatan wajib dilakukan sebulan sekali di klinik-klinik khusus yang disediakan pemerintah daerah. Tes meliputi HIV, penyakit menular seksual, serta kondisi fisik umum. Hasilnya dicatat dalam sistem agar pemerintah bisa memantau perkembangan dan kondisi kerja mereka dengan lebih efisien.
Langkah ini menuai kritik keras dari kalangan konservatif dan Gereja Katolik di Italia. Gereja menilai legalisasi prostitusi bertentangan dengan nilai-nilai moral dan martabat manusia yang mereka junjung tinggi. Demonstrasi kecil terjadi di beberapa kota, terutama di wilayah selatan yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 50% warga Italia mendukung langkah ini dengan alasan pragmatis. Perubahan pandangan masyarakat menjadi sinyal penting bahwa kebijakan sosial mulai lebih terbuka dan fleksibel.
Salah satu harapan utama dari legalisasi ini adalah menekan praktik prostitusi ilegal yang dikendalikan sindikat kriminal. Dengan membuka ruang legal, pemerintah bisa melumpuhkan jaringan mafia yang selama ini mengambil keuntungan besar. Keberadaan tempat kerja yang aman dan legal juga mengurangi risiko eksploitasi serta perdagangan manusia. Polisi pun bisa lebih fokus dalam mengawasi aktivitas ilegal tanpa harus memburu para pekerja yang beroperasi secara sah. Transparansi ini menjadi alat efektif dalam menekan kejahatan terorganisir.
Beberapa LSM yang fokus pada hak pekerja seks dilibatkan langsung dalam perumusan kebijakan ini. Mereka memberikan masukan soal perlindungan, pelatihan, dan pendampingan psikologis bagi para pekerja. Selain itu, badan pengawasan independen dibentuk untuk memastikan sistem ini tidak disalahgunakan. Inspeksi berkala dilakukan untuk menilai apakah tempat-tempat kerja mematuhi standar kesehatan dan keselamatan. Pelanggaran berat bisa berujung pada pencabutan izin serta denda tinggi sebagai bentuk deterrent.
Meski legalisasi telah dimulai, tantangan budaya masih jadi hambatan utama. Banyak keluarga dan komunitas lokal yang belum bisa menerima kenyataan bahwa prostitusi kini dilegalkan. Pemerintah meluncurkan kampanye edukasi lewat media dan sekolah untuk memberikan pemahaman yang lebih adil. Narasi yang dibangun adalah tentang hak, kesehatan, dan pencegahan kekerasan. Edukasi ini diharapkan mengurangi stigma yang selama ini melekat pada pekerja seks di mata masyarakat umum.
Italia bisa menjadi contoh kebijakan bagi negara-negara Eropa lainnya yang menghadapi masalah serupa. Jika terbukti efektif, legalisasi ini dapat memicu diskusi di negara-negara tetangga seperti Spanyol, Prancis, hingga Jerman. Setiap negara tentu akan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan hukum masing-masing. Namun, keberhasilan Italia bisa membuka mata banyak pihak bahwa pendekatan represif sudah tidak lagi relevan. Dunia bergerak menuju model yang lebih humanis, berbasis hak, dan pragmatis.