Jurnal Tempo – Ketegangan antara kebijakan pemerintahan Donald Trump dan universitas elite seperti Harvard kembali mencuat. Kali ini, isu mengenai keberadaan mahasiswa asing menjadi sorotan utama. Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dinilai membatasi hak belajar mahasiswa internasional. Harvard sebagai institusi pendidikan tinggi ternama, menanggapi dengan keras. Konflik ini bukan hanya soal kebijakan, tetapi menyentuh aspek kemanusiaan dan pendidikan global. Mahasiswa asing merasa terjepit di tengah pertarungan dua kekuatan besar. Mereka tak hanya menghadapi ketidakpastian akademik, tapi juga tekanan sosial dan psikologis. Dampaknya tak main-main. Banyak dari mereka kehilangan arah dan kestabilan. Harvard pun memilih untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Upaya ini dilakukan demi memperjuangkan keadilan bagi ribuan mahasiswa. Di sisi lain, Trump berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi warga lokal. Argumen ini menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi dan publik. Di balik semua ini, mahasiswa tetap menjadi korban utama dari tarik ulur kebijakan tersebut.
“Baca Juga : Ahok Angkat Bicara Terkait Isu Pemanggilan Kejagung dalam Kasus Pertamina”
Pemerintahan Trump sempat mengusulkan pembatasan visa pelajar asing. Mahasiswa yang hanya mengikuti kelas daring terancam dideportasi. Kebijakan ini mengejutkan banyak pihak. Harvard dan MIT langsung menggugat kebijakan tersebut ke pengadilan. Mereka menyatakan bahwa langkah ini tak manusiawi dan merugikan. Institusi pendidikan tak bisa berjalan tanpa keberagaman. Kehadiran mahasiswa asing memperkaya diskusi akademik. Di sisi lain, kebijakan ini menunjukkan pendekatan nasionalisme yang ekstrem. Dunia akademik global merasa terancam oleh arah kebijakan tersebut. Apalagi pandemi memaksa banyak kampus menjalankan kelas daring. Jadi, mengusir mahasiswa karena alasan itu menjadi tidak logis. Bahkan beberapa mahasiswa telah meninggalkan negaranya demi pendidikan. Sekarang mereka harus memilih antara kehilangan visa atau mempertaruhkan studi.
Harvard tak tinggal diam menghadapi kebijakan tersebut. Mereka segera berkoordinasi dengan lembaga hukum dan universitas lain. Gugatan hukum diajukan hanya beberapa hari setelah kebijakan diumumkan. Ini menunjukkan keseriusan Harvard dalam melindungi hak mahasiswanya. Tak hanya itu, berbagai universitas di AS memberikan dukungan. Komunitas internasional juga ikut bersuara. Banyak negara menyayangkan kebijakan tersebut. Pendidikan seharusnya lintas batas dan bebas dari politik. Namun situasi ini menunjukkan bahwa pendidikan juga bisa menjadi alat tekanan politik. Mahasiswa asing kemudian membuat petisi global. Mereka ingin suara mereka didengar oleh pemerintah AS. Dukungan dari alumni juga mengalir deras. Mereka merasa kebijakan ini bertentangan dengan nilai-nilai akademik.
“Simak juga: Mengapa BRMS Mendadak Jadi Sorotan Investor Tambang Syariah?”
Para mahasiswa asing menghadapi banyak tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem baru di tengah tekanan. Ketakutan akan deportasi menghantui tiap hari mereka. Sebagian bahkan mengalami gangguan psikologis akibat stres tinggi. Mereka kehilangan rasa aman dalam mengejar ilmu. Beberapa dari mereka telah memutuskan untuk berhenti kuliah. Sementara lainnya mencoba mencari cara agar bisa tetap tinggal. Kehidupan akademik mereka jadi terganggu secara signifikan. Bagi banyak dari mereka, mimpi Amerika berubah menjadi mimpi buruk. Rencana hidup yang sudah disusun sejak lama kini terancam hancur. Banyak yang mengandalkan beasiswa dan dukungan kampus. Namun bantuan itu tetap terbatas di tengah situasi yang kacau. Di sisi lain, mereka juga menghadapi tekanan dari keluarga di negara asal. Semua berharap mereka sukses, tapi realitas berkata lain.
Kebijakan ini menimbulkan ketakutan di kalangan calon mahasiswa internasional. Banyak yang mempertimbangkan untuk tidak kuliah di AS. Reputasi AS sebagai tujuan pendidikan tinggi mulai diragukan. Beberapa negara mulai menawarkan alternatif baru yang lebih stabil. Inggris, Kanada, dan Australia memanfaatkan peluang ini. Mereka memperkuat sistem pendidikan internasionalnya. Harvard dan universitas lain pun harus menyesuaikan diri. Mereka mulai membuka cabang di luar negeri untuk menjangkau lebih banyak siswa. Namun tetap saja, kerugian jangka panjang tak bisa dihindari. Hubungan antara lembaga pendidikan dan pemerintah mengalami keretakan. Mahasiswa sebagai aset intelektual mulai mencari tempat yang lebih aman. Akibatnya, AS bisa kehilangan talenta global yang luar biasa. Situasi ini menjadi pelajaran penting bagi masa depan pendidikan. Bahwa stabilitas dan kepastian hukum adalah fondasi utama pendidikan internasional.