Jurnal Tempo – Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, secara terbuka mengkritik tajam prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) terkait pertumbuhan ekonomi global. Dalam pernyataannya, ia menyebut prediksi tersebut terlalu pesimistis dan tidak mencerminkan dinamika ekonomi yang sesungguhnya. Ia juga menilai bahwa IMF perlu memperbarui pendekatan analisisnya agar lebih sesuai dengan kondisi riil. Kritik ini dilontarkan Purbaya dalam sebuah forum ekonomi yang dihadiri oleh para ekonom, regulator, dan pelaku pasar dari berbagai negara.
Purbaya menyoroti proyeksi IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global melambat signifikan pada kuartal kedua 2025. Menurutnya, asumsi yang digunakan IMF terlalu konservatif. Ia menyebutkan bahwa indikator pasar domestik di banyak negara justru menunjukkan tren positif. Data konsumsi rumah tangga, penyerapan tenaga kerja, dan aktivitas manufaktur belum mencerminkan sinyal pelemahan. Hal ini membuat pernyataan IMF dinilai terlalu dini dan dapat menciptakan kepanikan di pasar keuangan global.
“Baca Juga : Kecanduan Gula Bisa Dikurangi dengan 7 Minuman Ini”
LPS merilis skenario pembanding yang memperkirakan pertumbuhan global masih dapat bertahan di atas 3 persen pada tahun ini. LPS juga menilai bahwa kebijakan moneter di banyak negara mulai menunjukkan sinyal pelonggaran. Penurunan suku bunga acuan yang terjadi di Asia dan Amerika Selatan menjadi bukti bahwa tekanan inflasi dapat dikelola. LPS juga menilai respons fiskal di negara-negara berkembang cukup adaptif terhadap dinamika global. Semua itu memperkuat argumen bahwa ekonomi dunia belum berada di ambang perlambatan besar.
Menurut Purbaya, IMF masih terlalu bergantung pada model-model prediksi yang dibentuk berdasarkan pola krisis masa lalu. Ia menilai bahwa pendekatan tersebut tidak cukup fleksibel dalam menghadapi situasi pasca-pandemi. Ia menyebutkan bahwa ada faktor-faktor struktural baru seperti pergeseran rantai pasok, digitalisasi ekonomi, serta perubahan pola konsumsi masyarakat global. Semua ini menurutnya harus menjadi bagian penting dalam parameter prediksi ekonomi ke depan. Jika tidak, proyeksi IMF akan terus meleset dari realita.
“Simak juga: Implikasi Kesepakatan Dagang AS dan Tiongkok untuk Ekonomi Global”
Salah satu kekhawatiran utama yang disampaikan LPS adalah efek psikologis dari pernyataan lembaga sekelas IMF. Prediksi yang terlalu pesimistis dapat menciptakan ketakutan di kalangan investor. Hal ini bisa memicu aksi jual di pasar saham dan obligasi. Bahkan, negara-negara berkembang bisa terkena imbas lebih besar. Ketidakpastian akibat narasi global yang suram bisa memperparah tekanan modal keluar. Oleh karena itu, Purbaya mendesak lembaga internasional untuk lebih berhati-hati dalam merilis proyeksi ekonomi.
Dalam pernyataannya, Ketua LPS juga menyampaikan beberapa rekomendasi terhadap IMF dan lembaga multilateral lainnya. Ia mengusulkan adanya kerja sama dengan otoritas nasional untuk menyusun proyeksi yang lebih sesuai dengan kondisi lokal. Ia juga menekankan pentingnya keterbukaan metodologi agar bisa diuji dan diperbaiki secara berkala. Transparansi ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ekonomi global. Selain itu, pendekatan prediktif berbasis data real-time harus diprioritaskan.
Beberapa pelaku pasar di Indonesia menyambut baik pernyataan Ketua LPS tersebut. Mereka menilai bahwa suara dari regulator dalam negeri penting untuk mengimbangi dominasi narasi global. Sejumlah analis pasar modal bahkan menilai bahwa proyeksi IMF memang kerap terlalu konservatif. Hal ini kerap menimbulkan ketidakseimbangan antara ekspektasi dan kenyataan ekonomi. Respons keras dari LPS dinilai dapat memberi sinyal positif bagi investor domestik. Terutama untuk menjaga stabilitas sentimen di tengah dinamika eksternal yang fluktuatif.
Kepercayaan investor sangat dipengaruhi oleh narasi yang berkembang di pasar global. Jika lembaga seperti IMF merilis prediksi negatif, maka aksi spekulatif bisa meningkat. Oleh karena itu, tanggapan dari lembaga lokal seperti LPS penting untuk mengimbangi narasi tersebut. Menurut data pasar terbaru, indeks kepercayaan konsumen di Indonesia masih terjaga. Penyaluran kredit juga tetap tumbuh meski kondisi global belum stabil. Hal ini menunjukkan bahwa narasi domestik tetap mampu menjaga optimisme di tengah tekanan luar negeri.