Jurnal Tempo – Cuaca ekstrem yang melanda Indonesia pada akhir 2025 menunjukkan bagaimana pemanasan suhu laut semakin memengaruhi pembentukan Dampak siklon di Samudra Hindia. Para ahli meteorologi menegaskan bahwa peningkatan suhu air laut beberapa derajat saja dapat memicu putaran angin yang lebih kuat, sehingga badai berkembang dalam skala besar. Selain itu, perubahan iklim global membuat pola cuaca semakin tidak stabil, memperpanjang durasi hujan monsun dan memperbesar potensi banjir bandang. Di Sumatera, efek ini terasa nyata ketika angin kencang dan hujan ekstrem berlangsung tanpa jeda. Situasi tersebut makin parah karena siklon yang biasanya bergerak menjauhi daratan justru bergerak ke pesisir dan menerjang permukiman padat. Kombinasi faktor iklim ini membuat Indonesia berada dalam kondisi yang jauh lebih rentan dibanding negara tetangga.
Kerusakan Ekologi Memperparah Skala Bencana
Meski faktor iklim berperan besar, kerusakan lingkungan yang terjadi selama puluhan tahun menjadi alasan mengapa dampak bencana di Indonesia terasa lebih dahsyat. Data WALHI menunjukkan ratusan ribu hektare hutan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh hilang akibat izin ekstraktif dari ratusan perusahaan. Ketika hutan ditebang, wilayah yang seharusnya menjadi penahan angin, penyangga air, dan pelindung ekosistem menjadi rapuh. Akibatnya, badai yang seharusnya teredam di pesisir justru menghantam daratan tanpa hambatan. Aliran air hujan pun tak memiliki ruang meresap sehingga banjir bandang muncul lebih cepat. Meski peringatan dini sudah diberikan, kondisi ekologi yang rusak membuat masyarakat tidak memiliki perlindungan alami.
“Baca Juga : Langkah Cepat Presiden Prabowo Menyapa Warga Tapanuli Utara Usai Banjir Besar”
Deforestasi dan Hilangnya Buffer Zone di Pesisir
Dampak deforestasi tidak hanya terjadi di pedalaman, tetapi juga di wilayah pesisir yang kehilangan buffer zone alami. Menurut WALHI, zona hijau yang dulu membentengi pantai kini hampir habis akibat perluasan industri pulp, kertas, dan perkebunan kelapa sawit. Ketika siklon mendekat, wilayah pesisir tidak memiliki lagi lapisan penahan angin dan gelombang tinggi. Karena itu, badai mudah bergerak ke daratan dan menerjang permukiman. Uli Arta Siagian menegaskan bahwa infrastruktur ekologis Indonesia sudah dalam kondisi “hancur”, sehingga angin skala besar dapat mencapai permukiman tanpa hambatan. Kehilangan pelindung alam ini menjelaskan mengapa kerusakan di Sumatera jauh lebih parah dibanding negara lain yang masih menjaga kawasan pesisirnya.
Skala Kerusakan yang Menelan Ribuan Korban
Serangkaian badai pekan lalu menewaskan lebih dari 1.300 orang di Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand. Namun Indonesia menjadi negara dengan korban terbanyak, lebih dari 800 orang meninggal dan 500 lainnya hilang. BNPB melaporkan lebih dari 1,2 juta warga terpaksa mengungsi karena rumah dan desa mereka musnah akibat banjir bandang. Selain itu, banyak wilayah terisolasi sehingga bantuan sulit menjangkau para penyintas. Kerusakan ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi kombinasi ancaman: cuaca ekstrem, kerentanan ekologis, dan kepadatan permukiman. Walaupun bantuan terus berdatangan, skala bencana yang begitu besar membuat proses pemulihan kemungkinan berlangsung sangat lama.
“Baca Juga : Mengapa Foodcourt Selalu Berada di Lantai Teratas Mal? Ini Alasan Sebenarnya”
Faktor Emisi dan Perubahan Iklim yang Mendorong Krisis
Selain deforestasi, sektor energi dan penggunaan lahan menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca Indonesia. Uli Arta Siagian menyebut bahwa ketika emisi dilepaskan dalam skala besar, dampaknya tidak hanya dirasakan secara lokal, tetapi juga ikut memengaruhi sistem iklim global. Sumatera yang dikenal sebagai rumah bagi ekosistem Bukit Barisan mengalami tekanan hebat dari ekspansi industri. Padahal kawasan tersebut merupakan salah satu ekosistem hutan terbesar di dunia yang berfungsi menstabilkan iklim regional. Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya hutan, siklon dan hujan ekstrem lebih mudah terbentuk, sehingga Indonesia semakin sering menghadapi cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Pengakuan Pemerintah dan Tantangan Pemulihan
Pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa pembukaan lahan berkontribusi terhadap banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Namun tantangan besar muncul ketika kebijakan pembangunan ekonomi berbenturan dengan kebutuhan menjaga lingkungan. Banyak komunitas lokal menuntut pertanggungjawaban karena mereka yang merasakan dampak terburuk, sementara keuntungan industri justru mengalir ke luar daerah. Meski begitu, beberapa langkah mulai diambil, seperti pengetatan izin lahan dan pemulihan hutan critical zone. Akan tetapi, proses perbaikan ekologi memerlukan waktu bertahun-tahun, sehingga masyarakat masih harus menghadapi risiko bencana serupa jika kondisi iklim terus memburuk.
Harapan dari Penguatan Kebijakan Lingkungan
Di tengah situasi sulit ini, muncul dorongan kuat dari aktivis, peneliti, dan masyarakat untuk menata ulang tata kelola lingkungan Indonesia. Mereka percaya bahwa pemulihan ekologi bisa mengurangi dampak bencana di masa depan. Dengan memperkuat buffer zone pesisir, memperluas reforestasi, dan membatasi izin ekstraktif, Indonesia dapat membangun ketahanan bencana yang lebih kokoh. Meski jalan perubahannya panjang, inisiatif yang tepat dapat membantu menyelamatkan ribuan nyawa di masa mendatang. Harapan ini memberi dorongan bagi banyak orang bahwa Indonesia masih bisa bangkit dan belajar dari tragedi besar yang terjadi di Sumatera.