
Jurnal Tempo – Simon Leviev bebas dari penahanan di Georgia menggemparkan publik internasional, terutama mereka yang mengikuti kisahnya sejak dokumenter The Tinder Swindler dirilis. Setelah dua bulan menunggu proses ekstradisi ke Jerman, ia akhirnya dilepas tanpa syarat apa pun. Pengacaranya, Mariam Kublashvili, menjelaskan bahwa otoritas Jerman tiba-tiba mencabut permintaan ekstradisi, sehingga proses hukum otomatis dihentikan. Perubahan mendadak ini memunculkan banyak spekulasi tentang alasan sebenarnya di balik keputusan tersebut. Namun, bagi Leviev, keputusan itu berarti kebebasan penuh tanpa jaminan, perjanjian hukum, maupun batasan perjalanan. Dalam suasana lega tapi juga penuh tanda tanya, publik kembali mempertanyakan bagaimana figur yang disebut menipu banyak perempuan ini dapat lolos dari ancaman hukuman panjang.
Simon ditangkap pada 15 September 2025 di Bandara Internasional Batumi setelah nama aslinya, Shimon Yehuda Hayut, muncul dalam red notice Interpol. Penangkapannya berlangsung cepat karena petugas bandara mengenalinya dari pemberitaan global yang terus muncul sejak dokumenter Netflix tersebut viral. Setelah itu, ia ditahan di lembaga pemasyarakatan Kutaisi sambil menunggu proses administrasi ekstradisi. Keseluruhan proses tampak akan menuju hukuman berat hingga 10 tahun penjara di Jerman. Namun, pada akhirnya, semua itu berubah hanya dalam hitungan jam ketika otoritas Jerman mencabut permintaan resmi tersebut. Peristiwa ini membuat masyarakat bertanya-tanya bagaimana seseorang yang pernah dicap sebagai penipu kelas internasional dapat bebas tanpa hambatan berarti.
“Baca Juga : Persahabatan Prabowo dan Raja Abdullah II yang Terjalin Sejak Usia Muda”
Menurut Kublashvili, seluruh kasus terhadap kliennya ditutup sepenuhnya, meski ia mengakui tidak menerima alasan resmi yang kuat dari otoritas Jerman. Ia menduga keputusan itu muncul karena kurangnya bukti yang mampu menguatkan tuntutan ekstradisi. Meski begitu, publik masih menilai ada banyak aspek yang belum terungkap. Transisi dari ancaman hukuman panjang menuju kebebasan instan jelas menimbulkan pertanyaan hukum yang sulit dijawab. Beberapa pihak beranggapan bahwa kompleksitas lintas negara membuat pembuktian semakin rumit. Namun, bagi para korban, keputusan ini terasa seperti membuka kembali luka lama. Di sisi lain, pihak otoritas memilih diam, sehingga teka-teki di balik pembatalan ini makin menebal.
Antara 2017 hingga 2019, Leviev menjalankan modus catfishing dengan berpura-pura menjadi pewaris kaya raya demi mendapatkan kepercayaan perempuan dari berbagai negara. Setelah hubungan emosional terbangun, ia perlahan meminjam uang dalam nominal besar dengan berbagai alasan meyakinkan. Banyak korban percaya karena ia menunjukkan gaya hidup glamor, lengkap dengan jet pribadi palsu hingga pengawal. Pada akhirnya, uang mereka tak pernah kembali. Modus itu mencerminkan betapa mudahnya identitas digital dimanipulasi untuk keuntungan pribadi. Cerita para korban kemudian dibawa ke layar dokumenter Netflix dan menjadi pembuka mata tentang bagaimana kepercayaan dapat disalahgunakan dalam dunia kencan daring. Karena itu, publik masih sulit menerima kenyataan bahwa ia kini dapat melanjutkan hidup tanpa hukuman berarti.
“Baca Juga : Cucu Soeharto Berharap Sang Kakek Raih Gelar Pahlawan Nasional”
Film The Tinder Swindler yang dirilis pada 2022 memperlihatkan bagaimana korban dari Norwegia, Finlandia, hingga Swedia menceritakan kehilangan mereka. Dokumenter tersebut langsung menjadi fenomena global karena memadukan unsur kriminal, psikologis, dan emosional yang kuat. Di sisi lain, popularitas film itu juga mempercepat proses identifikasi Leviev di berbagai negara. Netflix mencatat kerugian total mencapai 10 juta dollar AS, membuat kasus ini menjadi salah satu penipuan kencan daring terbesar yang pernah tercatat. Kisah dalam dokumenter itu tidak hanya membuka luka para korban, tetapi juga mendorong banyak orang untuk lebih berhati-hati dalam membangun hubungan digital. Pada akhirnya, dokumenter ini menempatkan Leviev sebagai simbol gelap dari dunia kencan modern.
Setelah berita pembebasan Simon Leviev mencuat, reaksi publik langsung terbelah. Sebagian menilai bahwa setiap orang tetap memiliki hak menjalani proses hukum yang adil, sementara yang lain meyakini ia seharusnya menerima hukuman setimpal. Di berbagai platform media sosial, banyak yang menyuarakan kekecewaan atas keputusan otoritas Jerman yang memilih menghentikan proses ekstradisi. Sementara itu, beberapa pengamat keamanan digital menilai bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan berbasis kepercayaan sulit ditindak jika bukti keuangan tidak terstruktur dengan rapi. Meski bebas, jejak reputasi Leviev tidak akan hilang begitu saja. Banyak yang menilai bahwa pembebasan ini mungkin hanya membuka babak baru dalam perjalanan panjang penuh kontroversinya.