Jurnal Tempo – Menurunnya literasi baca anak menjadi isu penting yang perlu perhatian serius, terutama di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Di masa kini, banyak anak-anak yang mengalami kesulitan dalam menguasai kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung (calistung), yang seharusnya menjadi fondasi bagi perkembangan akademik mereka. Keadaan ini semakin memprihatinkan karena banyak anak yang bahkan masih terbata-bata dalam membaca meskipun sudah berada di kelas tinggi sekolah dasar. Apa yang sebenarnya hilang dari proses pembelajaran literasi anak di era yang serba digital ini?
Perkembangan teknologi digital seharusnya dapat menjadi sarana untuk meningkatkan literasi, namun kenyataannya justru menambah tantangan baru. Kemudahan mengakses informasi melalui perangkat digital seperti smartphone, tablet, dan komputer malah membuat anak-anak lebih tertarik pada aktivitas bermain game atau menonton video daripada membaca buku. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap konten digital dapat menurunkan minat baca anak. Konten digital yang lebih menarik dan interaktif sering kali lebih menggoda dibandingkan dengan buku cetak yang lebih konvensional.
Banyak aplikasi edukatif yang dirancang untuk menarik perhatian anak-anak, tetapi tidak selalu berfokus pada pengembangan literasi. Hal ini membuat anak-anak cenderung lebih tertarik pada permainan dan hiburan digital yang cepat. Di sisi lain membaca yang memerlukan konsentrasi dan waktu lebih panjang sering kali ditinggalkan.
“Baca juga: 10 Langkah Mudah Mengatasi Kecanduan Bermain Game Online di Kalangan Anak Muda”
Minimnya kebiasaan membaca sejak dini juga menjadi salah satu penyebab rendahnya literasi baca anak. Banyak anak yang tidak terbiasa membaca buku sejak usia dini, sehingga saat memasuki pendidikan formal, mereka kesulitan dalam memahami teks. Anak-anak yang sejak kecil tidak dibiasakan untuk membaca cenderung memiliki kemampuan literasi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang sudah terbiasa dengan buku sejak kecil. Kondisi ini memperburuk kemampuan baca mereka, sehingga membuat proses pembelajaran di sekolah menjadi lebih sulit.
Peran orang tua dalam membangun budaya literasi di rumah sangat penting. Sayangnya, peran ini sering kali diabaikan. Banyak orang tua yang lebih fokus pada kegiatan lain, seperti menyediakan hiburan digital bagi anak-anak, tanpa menyadari pentingnya mendampingi mereka dalam kegiatan membaca. Ketika anak pulang sekolah, mereka lebih sibuk dengan permainan atau aktivitas lain daripada melanjutkan kebiasaan membaca. Bahkan, beberapa orang tua lebih memilih membiarkan anak-anak menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar smartphone daripada mendorong mereka untuk membaca buku.
Di sisi lain, meskipun sekolah sudah memberikan pengajaran tentang membaca, seperti pengenalan huruf di kelas awal, kegiatan ini tidak berlanjut di rumah. Anak-anak tidak mendapat dukungan yang cukup untuk terus mengembangkan kemampuan baca mereka setelah pulang sekolah. Hal ini memperburuk masalah literasi baca anak di banyak keluarga.
“Simak juga: Mengenal Penyebab Anak Susah Makan dan Solusi Terbaik Menghadapinya”
Sekolah juga memiliki peran yang tak kalah penting dalam membangun minat baca anak. Berbagai program literasi telah diterapkan, seperti kegiatan membaca bersama sebelum pelajaran dimulai, serta menyediakan pojok baca di sekolah. Pojok baca yang nyaman dan menarik dapat mendorong anak-anak untuk lebih sering membaca. Selain itu, penggunaan alat permainan edukatif yang menggabungkan unsur belajar dengan bermain juga dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan minat baca anak tanpa membuat mereka merasa terbebani.
Meski begitu, peran sekolah dan orang tua harus berjalan bersamaan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kegiatan membaca. Penyediaan buku-buku yang menarik dan mendidik sangat penting untuk menumbuhkan minat baca yang tinggi di kalangan anak-anak.
Melalui kerjasama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat, diharapkan literasi baca anak dapat terus berkembang meskipun berada di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat.