Jurnal Tempo – Pada 22–23 Oktober 2025, Raja Charles III akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Vatikan. Ia akan memimpin ibadah bersama Paus Leo XIV di Kapel Sistina. Ini akan menjadikannya penguasa Inggris pertama dalam hampir lima abad yang berdoa secara publik bersama seorang paus. Peristiwa ini membawa makna besar bagi hubungan antara Gereja Inggris dan Gereja Katolik. Bagi saya pribadi, ini bukan sekadar simbol, melainkan babak baru dalam rekonsiliasi antaragama.
Sejak pembelahan pada masa Henry VIII di tahun 1534, Gereja Inggris dan Gereja Katolik berjalan terpisah selama berabad‑abad. Namun mulai abad ke‑20, dialog ekumenis mulai muncul. Sekarang, kunjungan Raja ke Vatikan ini menjadi langkah konkret. Ini artinya, lebih dari sekadar pertemuan diplomatik tapi sebuah upaya merajut kembali saat masa lalu begitu terpecah. Menurut saya, waktu untuk gerak bersama akhirnya tiba.
“Baca Juga : Prabowo Subianto: Pemimpin yang Paham Realitas dan Harapan Rakya”
Selama dua hari kunjungan ini, Raja Charles dan Ratu Camilla akan menghadiri ibadah ekumenis di Kapel Sistina, lalu mengunjungi Basilika Santo Paulus di Luar Tembok. Di basilika tersebut, Raja akan dianugerahi gelar “Royal Confrater” sebagai bentuk penghormatan dari Takhta Suci. Sebuah kursi khusus dengan lambang kerajaan akan tetap berada di basilika sebagai tanda persahabatan abadi. Dalam pandangan saya, simbol‑simbol ini menunjukkan bahwa aksi diplomasi religius bisa punya makna mendalam.
Kementerian Luar Negeri Inggris menyebut kunjungan ini sebagai momen penting dalam konteks global yang penuh ketidakpastian. Hubungan Inggris dengan Takhta Suci dianggap semakin relevan sekarang. Semua ini bukan hanya tentang agama, tapi juga nilai bersama seperti lingkungan dan keadilan sosial. Dari sudut saya, langkah ini menunjukkan bahwa monarki dan institusi religius bisa bersinergi untuk menghadapi tantangan zaman.
“Baca Juga : Warga Negara Asing untuk BUMN? Pandangan Mensesneg Prasetyo Hadi”
Meski banyak hal positif, kunjungan ini juga menghadapi tantangan nyata. Perbedaan doktrin dan tradisi antara Anglikan dan Katolik masih besar misalnya soal penahbisan perempuan atau imamat. Namun, aksi bersama seperti ini menunjukkan bahwa perbedaan tidak lagi jadi penghalang utama. Menurut saya, ini momen pembuktian bahwa dialog bisa dilampaui dengan tindakan konkret.
Bagi Raja Charles, kunjungan ini mempertegas peran sebagai Gubernur Tertinggi Gereja Inggris dan representatif nilai inklusi. Bagi masyarakat Inggris, ini bisa dilihat sebagai pengakuan bahwa monarki bukan hanya simbol masa lalu, tetapi agen perubahan sosial. Saya percaya bahwa momen seperti ini akan dikenang bukan hanya karena prestise, tetapi karena dampak pada persatuan dan kerjasama antar‑umat.