
Jurnal Tempo – Pertanyaan mengenai siapa yang lebih layak diselamatkan antara Whoosh dan Garuda Indonesia kembali memantik diskusi publik. Kedua moda transportasi ini memiliki posisi strategis bagi negara, tetapi perjalanan bisnis mereka menunjukkan kontras yang tajam. Di satu sisi, Whoosh sebagai kereta cepat pertama di Indonesia tampil sebagai simbol kemajuan infrastruktur. Di sisi lain, Garuda Indonesia mewakili identitas penerbangan nasional yang kini tengah berjuang bertahan di tengah krisis panjang. Narasi ini bukan sekadar soal angka dan laporan keuangan; melainkan tentang arah kebijakan transportasi negara, pertaruhan reputasi, hingga strategi keberlanjutan industri. Oleh karena itu, membahas siapa yang lebih layak mendapatkan dukungan menjadi langkah penting untuk melihat masa depan mobilitas publik Indonesia.
Whoosh sejak awal hadir membawa misi modernisasi transportasi darat, sekaligus menghubungkan pusat ekonomi secara cepat. Selain itu, performanya terbilang stabil sejak beroperasi di 2023 dengan total 12 juta penumpang hingga Oktober 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan kepercayaan publik yang konsisten. Menariknya, Whoosh memiliki skema pembayaran utang yang jelas dengan cicilan Rp2 triliun per tahun hingga 2085. Komitmen pembayaran yang terstruktur ini menjadi alasan utama Cina memberikan perpanjangan tenor. Dalam perspektif bisnis, kepastian arus kas seperti ini adalah indikator sehat, sekaligus menjadikan Whoosh proyek berisiko rendah dibandingkan moda publik lain yang masih terombang-ambing. Dari sini terlihat, Whoosh bukan sekadar proyek mercusuar, melainkan mesin ekonomi yang masih memiliki ruang bertumbuh.
“Baca Juga : Pertamina Patra Niaga Tambah Posko Keluhan Konsumen Jadi 17 Titik di Jawa Timur”
Rute awal Jakarta–Bandung sering dianggap terbatas. Namun, jika diperluas hingga Surabaya, Whoosh berpotensi menjadi tulang punggung transportasi lintas kota besar. Terlebih lagi, pola mobilitas masyarakat di koridor Pulau Jawa menunjukkan kepadatan permanen baik untuk bisnis, pendidikan, maupun perjalanan keluarga. Dengan akses yang lebih panjang, dampak multiplier ekonomi tentu meningkat, terutama untuk kota penyangga seperti Cirebon, Semarang, hingga Solo. Bahkan, menurut banyak analis, keunggulan Whoosh terletak pada kemampuannya menarik volume pengguna secara massal, sehingga skala ekonominya jauh lebih kuat. Ini artinya, semakin jauh rel dibentangkan, semakin besar manfaat publik dan pendapatan negara. Jika strategi ini dijalankan, Whoosh bisa menjadi salah satu aset infrastruktur terpenting Indonesia dalam dua dekade mendatang.
Berbeda dengan Whoosh, kondisi Garuda Indonesia hingga saat ini tampak lebih kompleks dan berat. Maskapai kebanggaan nasional itu masih berada dalam tekanan besar akibat keterbatasan armada yang hanya sekitar 40 pesawat. Angka ini jauh dari ideal untuk maskapai full-service yang bersaing di level global. Lebih dari itu, banyak lessor pesawat enggan memberikan armada baru karena khawatir terhadap kemampuan pembayaran Garuda. Rekam jejak restrukturisasi utang selama 30 tahun tanpa kepastian menjadi salah satu penyebab utama minimnya kepercayaan. Situasi ini membuat Garuda sulit masuk ke fase ekspansi bisnis, bahkan mempertahankan layanan saja terasa berat. Tanpa dukungan yang sangat besar dan reformasi struktural menyeluruh, bisnis Garuda berisiko kembali merosot.
Secara fundamental, Whoosh dan Garuda berada pada spektrum risiko yang berbeda. Kereta cepat termasuk layanan publik berbasis volume dengan permintaan yang stabil. Sebaliknya, maskapai penerbangan lebih rentan terhadap naik turunnya pasar global, harga avtur, hingga dinamika geopolitik. Banyak negara memiliki maskapai nasional yang mengalami nasib serupa: penuh beban finansial, padat utang, dan sulit bangkit tanpa bantuan panjang pemerintah. Sementara itu, Whoosh justru menunjukkan tren yang sejalan dengan negara berkembang yang sukses mengandalkan transportasi massal cepat sebagai tulang punggung ekonomi. Melihat ini, prioritas dukungan tampaknya lebih condong pada proyek yang memiliki nilai jangka panjang kuat dan risiko lebih terukur dan saat ini, itu adalah Whoosh.
Menyelamatkan Garuda memang bukan sekadar soal bisnis. Ada simbol kebangsaan, reputasi internasional, hingga aspek diplomasi ekonomi. Namun, pemerintah tetap harus realistis: dana publik tidak tak terbatas. Ketika memilih prioritas, proyek yang memiliki visibilitas pembayaran, potensi pertumbuhan, dan efek sistemik terhadap mobilitas nasional tentu lebih menarik dikembangkan. Pada akhirnya, keputusan pemerintah harus berdasarkan dampak ekonomi terbesar bagi masyarakat. Walaupun berat, pandangan rasional menunjukkan bahwa melanjutkan investasi pada Whoosh cenderung memberi hasil lebih nyata dibanding mempertahankan maskapai premium yang berjuang melawan realitas pasar.
Jika debat ini harus memilih satu pemenang, maka Whoosh memiliki pijakan bisnis dan harapan publik lebih kuat. Namun, tidak berarti Garuda tidak layak diperjuangkan. Hanya saja, strategi penyelamatan keduanya perlu dibedakan. Whoosh membutuhkan percepatan rute dan integrasi multimoda, sementara Garuda memerlukan restrukturisasi lebih berani dan transformasi model bisnis. Ke depan, keputusan pemerintah akan menjadi cerminan arah transportasi nasional: apakah kita bergerak menuju era transportasi publik massal modern, atau masih terjebak mempertahankan simbol yang rapuh.