Tunjangan DPR: Solusi Adil untuk Publik yang Menunggu
Jurnal Tempo – Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan bahwa sejumlah tunjangan DPR akan dicabut. Selain itu, perjalanan dinas ke luar negeri juga akan dihentikan sementara. Hal ini terjadi setelah publik murka melihat gaji fantastis anggota DPR, sementara banyak warga masih kesulitan memenuhi kebutuhan.
Reaksi Terhadap Gaji Fantastis Anggota DPR
TB Hasanuddin mengakui mendapat take home pay lebih dari Rp100 juta per bulan. Bahkan ia juga mendapat tunjangan rumah sekitar Rp50 juta. Padahal, masyarakat umum hanya mendapat UMP Jakarta sekitar Rp5–6 juta. Situasi ini makin memperlebar jurang kepercayaan antara rakyat dan wakilnya.
Adu Logika Ekonomi: Mana yang Lebih Adil?
Untuk mengatasi ketidakadilan tersebut, ekonom menyarankan supaya tunjangan DPR diatur melalui badan independen. Dengan demikian, gaji dan tunjangan tidak bisa diubah sewenang-wenang. Selain itu, besarnya tunjangan juga harus disesuaikan dengan standar hidup masyarakat. Misalnya, tunjangan rumah idealnya mengacu pada garis kemiskinan atau survei biaya hidup Jakarta, bukan disparitas Rp50 juta.
Skema Belanja Biaya: Dari Lump Sum ke Remimbursement
Kemudian, tunjangan sebaiknya diberikan berdasarkan kebutuhan nyata, melalui sistem reimbursement. Dengan cara ini, DPR hanya menerima kompensasi yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan uang langsung tanpa bukti riil. Apalagi untuk dana reses dan aspirasi, sistem berbasis output nyata dan transparansi publik sangat penting.
Upaya Penyederhanaan Menuju Sistem ‘Single Salary’
Lebih lanjut, usul ‘single salary’ juga digagas. Dengan sistem ini, gaji pokok dan berbagai tunjangan digabung menjadi satu pembayaran tunggal. Artinya, DPR tidak lagi mendapat tunjangan komunikasi, kehormatan, atau hadir rapat secara terpisah. Selain itu, anggota DPR sebaiknya tidak mendapat fasilitas pajak penghasilan DTP—karena ini seharusnya berlaku hanya untuk ASN.
Argumen Penghematan dan Peran Politik Simbolik
Meskipun penghematan tidak terlalu besar secara fiskal, implikasi politik dan sosialnya sangat kuat. Reputasi DPR bisa diperbaiki. Publik juga akan merasakan manfaatnya jika dana tersebut dialihkan untuk sektor seperti UMKM, pendidikan vokasi, bantuan pangan, dan layanan kesehatan—yang memberi manfaat langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Reformasi yang Adil, Transparan, dan Bermakna
- Pertama, tunjangan harus berdasarkan kebutuhan nyata rakyat.
- Kedua, sistem harus transparan dan bisa diaudit.
- Ketiga, skema single salary akan menyederhanakan birokrasi.
- Akhirnya, reformasi ini bukan soal penghematan semata, tetapi pemulihan kepercayaan publik dan penggunaan anggaran untuk kepentingan bersama.