Jurnal Tempo – PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang dikenal dengan Sritex, secara resmi mengumumkan penutupan permanen pada 1 Maret. Langkah ini mengejutkan banyak pihak. Ribuan karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dampak ekonomi lokal diperkirakan signifikan. Penutupan ini terjadi setelah perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Utang yang menumpuk menjadi alasan utama. Kondisi global yang tidak menentu memperburuk situasi.
Sritex sebelumnya dikenal sebagai raksasa tekstil Indonesia. Mereka memasok kain dan seragam militer ke berbagai negara. Namun, pandemi mengubah segalanya. Permintaan menurun drastis. Produksi tidak lagi sejalan dengan biaya operasional. Manajemen mencoba bertahan dengan berbagai strategi. Sayangnya, upaya restrukturisasi utang gagal. Akhirnya, keputusan pahit harus diambil.
“Baca Juga : Hunian Anyar Tatar Kartawijaya: Pilihan Tepat untuk Gaya Hidup Modern”
PHK massal ini berdampak pada ribuan keluarga. Banyak karyawan yang telah bekerja puluhan tahun. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan. Namun, juga sumber pendapatan utama. Kondisi ini menciptakan kekhawatiran sosial. Beberapa karyawan mengaku kesulitan mencari pekerjaan baru. Pasar tenaga kerja sedang lesu.
Pemerintah daerah memberikan respons cepat. Mereka menyediakan posko pengaduan PHK. Selain itu, program pelatihan kerja juga disiapkan. Tujuannya agar korban PHK dapat beradaptasi. Namun, solusi jangka pendek ini belum cukup. Dibutuhkan intervensi lebih besar untuk mengatasi krisis ini.
“Simak juga: Kesuksesan Bank Jateng di Ajang TOP DIGITAL Awards 2024”
Beberapa faktor menjadi penyebab utama penutupan Sritex. Pertama, tekanan utang yang sangat besar. Laporan keuangan menunjukkan beban utang yang menumpuk. Kedua, penurunan permintaan global akibat pandemi. Sritex sangat bergantung pada ekspor. Ketika pasar internasional terganggu, pendapatan pun menurun.
Ketiga, fluktuasi harga bahan baku. Harga kapas dan kain naik signifikan. Ini membuat biaya produksi meningkat. Sementara itu, daya beli masyarakat melemah. Perusahaan kesulitan menyeimbangkan harga jual. Akibatnya, margin keuntungan semakin tipis.
Manajemen Sritex sebenarnya sudah berusaha melakukan restrukturisasi utang. Mereka menggandeng konsultan keuangan ternama. Tujuannya agar perusahaan bisa bangkit kembali. Namun, negosiasi dengan kreditur berjalan alot. Tidak ada kesepakatan yang tercapai.
Selain itu, investor asing yang diharapkan tidak datang. Mereka ragu dengan prospek industri tekstil. Akhirnya, opsi penutupan dianggap paling realistis. Keputusan ini tentunya berat. Namun, dianggap sebagai langkah terbaik untuk menghindari kebangkrutan yang lebih dalam.
Penutupan Sritex memicu reaksi dari berbagai pihak. Serikat pekerja menuntut kompensasi yang adil. Mereka meminta manajemen bertanggung jawab. Sementara itu, pemerintah mendesak pembayaran pesangon tepat waktu. LSM juga ikut bersuara. Mereka khawatir angka pengangguran meningkat.
Tidak hanya itu, pelanggan setia Sritex turut bersedih. Banyak yang merasa kehilangan produk lokal berkualitas. Beberapa mitra bisnis Sritex pun terkena imbas. Mereka harus mencari pemasok alternatif. Dampak rantai pasokan ini cukup besar.