
Jurnal Tempo – Langit Washington DC sore itu menjadi saksi sejarah baru hubungan internasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, seorang presiden Suriah, Ahmed Al Sharaa, melangkah masuk ke Gedung Putih. Ia disambut langsung oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dengan jabatan tangan hangat di depan kamera dunia. Pertemuan ini menandai berakhirnya lebih dari satu dekade ketegangan antara Washington dan Damaskus, yang sempat membeku sejak 2012. Dalam konferensi pers bersama, keduanya sepakat membuka lembaran baru, terutama dalam upaya global memberantas kelompok teroris ISIS. “Kami ingin melihat Suriah menjadi negara yang sukses, dan saya percaya pemimpin ini bisa mewujudkannya,” kata Trump dengan nada optimistis, sebagaimana dilaporkan BBC.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan penting: Suriah resmi bergabung dengan koalisi internasional untuk memerangi ISIS. Dengan langkah ini, Suriah menjadi negara ke-90 yang ikut dalam koalisi yang dipimpin AS. Keputusan tersebut membawa dampak besar bagi stabilitas kawasan Timur Tengah yang selama bertahun-tahun terjerat konflik dan perang saudara. Dalam wawancara dengan Fox News, Al Sharaa menyebut pertemuannya dengan Trump sebagai awal “era baru kerja sama” antara kedua negara. “Kami akan berdiri bersama melawan ekstremisme,” ujarnya. Pemerintah AS pun menindaklanjuti dengan mencabut sebagian sanksi ekonomi terhadap Suriah, termasuk menangguhkan penerapan Undang-Undang Caesar selama enam bulan. Langkah ini membuka peluang ekonomi baru bagi rakyat Suriah yang lama terisolasi akibat sanksi internasional.
“Baca Juga : Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Tutup Usia”
Kesepakatan ini bukan hanya tentang politik, tetapi juga simbol perubahan besar dalam diplomasi global. Hubungan AS dan Suriah yang sempat retak kini mulai pulih perlahan. Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri AS telah menyiapkan panduan bagi investor yang ingin berbisnis di Suriah. Di sisi lain, Damaskus berencana membuka kembali kedutaannya di Washington setelah lebih dari satu dekade tertutup. “Ini langkah pertama menuju normalisasi hubungan,” kata seorang pejabat Gedung Putih. Perubahan ini juga mencerminkan strategi baru pemerintahan Trump yang memilih pendekatan pragmatis ketimbang konfrontatif di Timur Tengah. Di tengah dinamika geopolitik yang kompleks, kerja sama ini memberi sinyal bahwa perang melawan terorisme tetap menjadi prioritas utama.
Kunjungan Al Sharaa ke Washington juga menjadi babak baru dalam perjalanan pribadinya yang penuh kontroversi. Dulu, ia dikenal sebagai pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), organisasi bersenjata yang pernah berafiliasi dengan Al Qaeda. Nama Al Sharaa bahkan sempat tercantum dalam daftar teroris global dengan imbalan Rp 166 miliar bagi siapa pun yang bisa menangkapnya. Namun, sejak dilantik sebagai presiden sementara, ia berupaya keras memperbaiki citra dan arah kebijakan Suriah. Dengan dukungan sejumlah negara Arab, Al Sharaa kini tampil sebagai tokoh reformis yang berkomitmen memulihkan negaranya setelah 13 tahun perang. “Ia memiliki masa lalu yang kelam, tetapi justru itu yang memberinya pelajaran berharga,” kata Trump dalam wawancara singkat.
“Baca Juga : Tangis Haru Sambut Kepulangan Bilqis, Balita Korban Dugaan TPPO di Makassar”
Kunjungan ini juga membawa harapan baru bagi kawasan Timur Tengah yang masih dihantui ketegangan. Dengan Suriah bergabung dalam koalisi anti-ISIS, peluang untuk menekan kelompok militan di Irak dan Suriah semakin besar. Amerika Serikat berharap langkah ini dapat mempercepat proses stabilisasi dan rekonstruksi wilayah yang rusak akibat perang. Para analis menilai, kehadiran Al Sharaa di Gedung Putih menjadi simbol bahwa diplomasi masih bisa menembus batas politik dan ideologi. “Ini momentum langka di mana musuh lama kini duduk di meja yang sama,” kata pakar Timur Tengah dari BBC, John Aldridge. Harapan besar kini tertuju pada implementasi kerja sama tersebut, apakah benar mampu membawa perdamaian yang nyata di kawasan yang selama ini menjadi pusat konflik global.
Meski optimisme menyelimuti pertemuan ini, banyak tantangan masih menanti. Keberhasilan koalisi melawan ISIS bergantung pada koordinasi dan komitmen setiap negara anggota, termasuk Suriah yang kini tengah memulihkan diri dari perang. Selain itu, sebagian pihak di Washington masih skeptis terhadap rekam jejak Al Sharaa dan mempertanyakan konsistensinya dalam menegakkan hak asasi manusia. Namun, di sisi lain, momentum diplomasi ini membuka peluang besar bagi stabilitas regional dan hubungan bilateral yang lebih sehat. “Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa memilih masa depan yang lebih baik,” ujar Trump menutup konferensi pers. Dari Gedung Putih, sinyal perdamaian itu kini mengalir ke seluruh dunia, membawa pesan bahwa bahkan setelah konflik panjang, kerja sama masih mungkin terjadi bila ada keberanian untuk memulai.