
Jurnal Tempo – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali menegaskan bahwa negaranya tidak membutuhkan izin siapa pun untuk menentukan kapan dan bagaimana menyerang musuhnya. Pernyataan keras ini disampaikan pada Minggu (26/10/2025), di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Pada saat yang sama, tim penyelamat Mesir tiba di Jalur Gaza untuk mencari jenazah sandera Israel yang hilang. Konvoi bantuan membawa buldoser dan ekskavator menuju Khan Younis, selatan Gaza.
Langkah Netanyahu bukan hanya reaksi politik, tetapi juga simbol tekad Israel untuk mempertahankan kedaulatannya. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Israel tetap berhak mengendalikan keputusan militernya, meskipun tekanan internasional terus meningkat.
Dalam kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat, pasukan internasional dari negara-negara Arab dan Muslim direncanakan menjaga keamanan Gaza setelah Israel menarik pasukannya. Namun, Israel menolak keterlibatan Turkiye dalam pasukan tersebut.
Dalam rapat kabinet di Yerusalem, Netanyahu menegaskan bahwa Israel memiliki hak menentukan siapa yang dapat diterima. “Kami akan memilih sendiri siapa yang bisa diterima dan siapa yang tidak,” ujarnya.
Dari sudut pandang penulis, pernyataan itu menggambarkan karakter khas Netanyahu yang keras dan berhitung. Ia tidak ingin Israel tampak lemah di mata sekutunya, apalagi di hadapan kelompok keras di dalam pemerintahannya.
“Baca Juga : Kepala Bappeda Bojonegoro Disetrap Mendagri Tito Soal Realisasi Anggaran”
Meskipun gencatan senjata sedang berlangsung, kondisi di Gaza tetap memprihatinkan. Bantuan kemanusiaan masih sangat terbatas. Ribuan warga hidup dalam kelaparan dan kekurangan air bersih.
Seorang warga Gaza berusia 62 tahun, Hiam Muqdad, menceritakan kepada AFP bahwa keluarganya kini tinggal di tenda setelah rumah mereka hancur. “Anak-anak dulu bermain di taman, sekarang hanya bisa bermain di reruntuhan,” katanya dengan nada sedih.
Israel memang telah menarik sebagian pasukannya ke Garis Kuning, tetapi masih menguasai lebih dari separuh wilayah Gaza. Negara itu juga mengatur lalu lintas konvoi bantuan PBB, sehingga gencatan senjata terasa rapuh dan belum menjamin ketenangan.
Dalam pernyataannya, Netanyahu menegaskan bahwa Israel adalah negara merdeka yang tidak tunduk pada siapa pun. “Kami akan mempertahankan diri dengan cara kami sendiri. Kami tidak membutuhkan izin dari siapa pun,” tegasnya.
Sebagai bukti, Netanyahu menyinggung serangan udara besar pada 19 Oktober 2025. Dalam operasi itu, militer Israel menjatuhkan 150 ton bom dan rudal ke Gaza setelah dua tentaranya tewas. Ia menambahkan bahwa serangan terhadap kelompok Jihad Islam akan terus dilakukan.
Menurut analisis penulis, pernyataan tersebut juga menjadi bentuk pesan politik. Netanyahu ingin memastikan dukungan dari kelompok nasionalis dan mempertahankan posisinya di tengah tekanan domestik yang semakin besar.
“Baca Juga : Nilai Aset Sandra Dewi Dinilai Tak Cukup untuk Tutupi Kewajiban Harvey Moeis”
Sementara itu, Amerika Serikat dan sekutunya telah membentuk Pusat Koordinasi Sipil-Militer (CMCC) di Israel selatan untuk memantau pelaksanaan gencatan senjata. Langkah ini menjadi bagian dari upaya Presiden Donald Trump menjaga stabilitas kawasan.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menilai bahwa gencatan senjata hanya akan bertahan jika Hamas mau melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan atas Gaza. “Jika Gaza benar-benar didemiliterisasi, maka perdamaian bisa tercapai,” ujarnya.
Namun, sebagian analis menilai pandangan ini terlalu optimistis. Hamas masih melihat pelucutan senjata sebagai bentuk penyerahan diri, dan itu sulit diterima oleh kelompok yang berdiri atas dasar perlawanan.
Faksi-faksi utama Palestina, termasuk Hamas, telah sepakat membentuk komite teknokrat untuk mengelola Gaza dalam proses rekonstruksi. Meskipun demikian, Hamas tetap menolak tuntutan pelucutan senjata.
Selain itu, mereka masih menekan kelompok bersenjata lain yang dianggap sebagai pesaing. Akibatnya, konflik internal di Gaza belum benar-benar usai.
Dalam pandangan penulis, pernyataan keras Netanyahu dan sikap menantang Hamas menunjukkan betapa rumitnya proses menuju perdamaian. Gencatan senjata mungkin memberi jeda, tetapi luka politik dan sosial di kedua pihak masih terlalu dalam untuk sembuh dalam waktu dekat.