
Jurnal Tempo – Ketegangan antara Amerika Serikat dan Rusia kembali memuncak setelah Washington menjatuhkan sanksi terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil. Keputusan ini diumumkan oleh Kementerian Keuangan AS pada Rabu (22/10/2025). Langkah tersebut menjadi bagian dari strategi menekan Moskwa agar segera menghentikan perang di Ukraina.
Akibat kebijakan itu, harga minyak dunia naik lebih dari 3 persen. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya peran Rusia dalam pasokan energi global.
Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, bereaksi keras terhadap keputusan Amerika Serikat. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk perang terbuka terhadap negaranya. “AS adalah musuh kami. Pembawa damai yang cerewet itu kini benar-benar menempuh jalan perang melawan Rusia,” ujarnya dikutip dari Sky News.
Selain itu, Medvedev juga menuding Donald Trump telah berpihak pada Eropa yang disebutnya “gila.” Menurutnya, keputusan tersebut membuktikan bahwa Washington tidak lagi tertarik pada diplomasi.
“Baca Juga : Hakim yang Dilaporkan Tom Lembong Tetap Berpraktek Saat Pemeriksaan Berjalan”
Sanksi baru dari AS tak hanya mengguncang Rusia, tetapi juga berdampak pada India dan Uni Eropa. India yang selama ini menjadi pembeli utama minyak Rusia mulai mempertimbangkan pengurangan impor. Mereka khawatir terkena sanksi sekunder dari AS.
Sementara itu, Uni Eropa memperketat tekanan melalui larangan impor gas alam cair dari Rusia. Mereka juga menargetkan armada bayangan kapal tanker minyak. Karena itu, langkah Washington dan Brussels semakin menegaskan bahwa Barat kini bersatu untuk menekan Moskwa di jalur ekonomi.
Meskipun sanksi ini berat, dampaknya terhadap ekonomi Rusia belum sepenuhnya menghancurkan. Menurut data Reuters, pendapatan Rusia dari sektor minyak dan gas turun sekitar 21 persen dibanding tahun lalu. Namun, energi fosil masih menyumbang seperempat dari total anggaran negara.
Sebagian besar pendapatan Rusia berasal dari pajak produksi domestik, bukan dari ekspor. Karena itu, dampak langsung terhadap kas negara masih terbatas. Di sisi lain, Moskwa kemungkinan memberi diskon besar kepada negara mitra seperti China dan India untuk mempertahankan aliran kas.
“Baca Juga : Prabowo Subianto: Pemimpin yang Paham Realitas dan Harapan Rakyat”
Pernyataan Medvedev bahwa sanksi AS adalah “tindakan perang” bukan sekadar emosi. Ia ingin membingkai sanksi ekonomi sebagai ancaman terhadap kedaulatan Rusia. Dengan menuduh AS sebagai musuh, Medvedev berusaha menggalang dukungan publik di dalam negeri.
Namun, jika dilihat secara objektif, sanksi ini bukan serangan militer. Ini adalah perang non-konvensional, di mana ekonomi dijadikan senjata. Sanksi digunakan untuk menekan lawan tanpa peluru, tetapi dampaknya bisa sama besar. Oleh sebab itu, kebijakan ini mencerminkan bentuk baru “perang dingin” di era modern.
Kebijakan Washington dan sekutunya membawa risiko global yang besar. Harga minyak yang melonjak dapat memicu inflasi di berbagai negara. Selain itu, negara-negara berkembang akan kesulitan menanggung beban biaya energi yang semakin mahal.
Eropa kini juga berada di posisi sulit. Mereka harus menyeimbangkan antara mendukung Ukraina dan menjaga kestabilan ekonomi. Di sisi lain, Rusia masih punya pengaruh besar dalam pasar energi dunia. Oleh karena itu, setiap keputusan yang melibatkan Moskwa hampir selalu mengguncang harga global.
Dari sudut pandang pribadi, langkah AS ini sangat berani. Namun, risiko politik dan ekonomi yang muncul juga besar. Amerika Serikat ingin menunjukkan kekuatan moral dan ekonominya. Di sisi lain, Rusia dapat membalas dengan memperkuat aliansinya dengan negara seperti Tiongkok, Iran, dan Korea Utara.
Selain itu, sanksi ini bisa memperpanjang konflik jika tidak diikuti jalur diplomasi. Dunia kini membutuhkan strategi yang tidak hanya menekan, tetapi juga membuka ruang negosiasi. Sebab, dalam perang energi, semua pihak pada akhirnya akan ikut merasakan dampaknya.
Pernyataan Dmitry Medvedev bahwa sanksi AS terhadap minyak Rusia adalah “tindakan perang” menggambarkan meningkatnya ketegangan global. Amerika Serikat dan sekutunya memang berupaya menekan Moskwa melalui jalur ekonomi. Namun, efektivitas langkah ini masih perlu waktu untuk dibuktikan.
Pada akhirnya, sanksi bukan hanya soal angka dan kebijakan. Ini tentang kekuasaan, pengaruh, dan strategi bertahan di dunia yang semakin tidak stabil. Karena itu, dunia kini menunggu: apakah langkah AS akan mengakhiri perang, atau justru memicu babak baru dari konflik yang lebih dalam.