Jurnal Tempo – Koala dikenal sebagai salah satu ikon paling menggemaskan dari benua Australia. Hewan marsupial ini seringkali menjadi simbol konservasi. Namun, di balik wajah lucu mereka, ada kenyataan pahit yang membuat banyak orang terkejut. Pemerintah Australia disebut telah menembak mati sekitar 700 koala dalam sebuah kebijakan pengelolaan populasi. Langkah ini mengundang kontroversi besar dan menjadi sorotan tajam dari berbagai organisasi lingkungan. Masyarakat luas mempertanyakan alasan dan etika di balik keputusan ini yang dinilai sangat ekstrem. Benarkah hal tersebut demi melindungi ekosistem? Ataukah ada alasan lain yang disembunyikan?
Pada tahun-tahun tertentu, populasi koala di beberapa wilayah Australia meningkat drastis. Dalam konteks ini, pemerintah mengklaim bahwa tindakan yang diambil adalah upaya untuk menghindari kelaparan massal. Koala yang terlalu banyak dikatakan bisa menghabiskan seluruh pasokan daun eukaliptus. Ini tentu akan membahayakan ekosistem setempat serta koala itu sendiri. Namun, metode yang dipilih—yakni penembakan—menuai protes. Aktivis menyebut cara ini kejam dan tidak manusiawi. Alternatif seperti relokasi atau sterilasi dianggap jauh lebih etis dibanding membunuh. Sayangnya, pemerintah berdalih bahwa opsi tersebut memakan biaya besar dan memerlukan waktu lama.
Pemerintah daerah Victoria menyatakan bahwa mereka melakukan kajian mendalam sebelum mengambil langkah drastis ini. Dalam laporan resmi, mereka menyebut populasi koala di Cape Otway telah melampaui batas ideal. Jika tidak dikendalikan, hal ini bisa menyebabkan degradasi hutan secara besar-besaran. Penembakan dilakukan oleh petugas terlatih dan bertujuan untuk meminimalkan penderitaan hewan. Tetapi, kritikus mempertanyakan transparansi proses tersebut. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa tidak ada keterlibatan lembaga konservasi independen dalam pengawasan. Hal ini memperparah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam hal konservasi satwa.
“Simak juga: Atasi Gusi Bengkak dengan 5 Bahan Alami Ini, Ampuh dan Mudah!”
WWF dan Koala Clancy Foundation termasuk di antara organisasi yang paling vokal menentang kebijakan ini. Mereka menyebut penembakan massal sebagai bentuk kegagalan manajemen satwa liar. Dalam pernyataan resminya, mereka menekankan bahwa habitat koala terus menyempit akibat ulah manusia. Alih-alih mengorbankan hewan, seharusnya yang dikendalikan adalah aktivitas pembangunan dan pembalakan liar. Mereka juga menyerukan peningkatan pendanaan untuk program rehabilitasi dan relokasi. Seruan ini didukung oleh sejumlah selebritas Australia yang turut mengunggah kritik lewat media sosial. Ini membuat isu semakin viral dan mendapat perhatian internasional.
Meski bertujuan mengendalikan populasi, kebijakan ini justru menimbulkan ketakutan akan penurunan populasi jangka panjang. Laporan terbaru menyebutkan bahwa beberapa koloni koala di Victoria kini mengalami ketidakseimbangan gender. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada kemampuan reproduksi dalam jangka panjang. Selain itu, penembakan massal telah menimbulkan trauma pada komunitas lokal pecinta hewan. Banyak warga merasa dikhianati karena selama ini mereka mendukung konservasi. Kini, mereka justru menyaksikan pembunuhan hewan yang mereka lindungi. Pemerintah dinilai gagal menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat setempat terkait keputusan ini.
Keputusan ini juga mengundang perhatian dari media internasional. Banyak pihak luar negeri menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran etika dalam pengelolaan satwa. Negara lain mulai mempertanyakan komitmen Australia dalam menjaga satwa endemiknya. Tak sedikit pula yang membandingkan kasus ini dengan pembunuhan satwa liar di negara berkembang. Ironisnya, Australia yang kerap mengkritik praktik konservasi di negara lain, kini justru disorot karena tindakan serupa. Para ahli etika hewan dari universitas ternama juga turut bersuara. Mereka menyebut bahwa konservasi modern harus memprioritaskan keseimbangan antara keberlanjutan dan kesejahteraan hewan.