Jurnal Tempo – Petani kelapa sawit di Kalimantan kini menghadapi tantangan baru. Penundaan kebijakan pajak ekspor CPO oleh GAPKI ternyata membawa efek signifikan. Meskipun tujuan awal kebijakan ini adalah mendorong ekspor, efek lanjutan di tingkat akar rumput perlu mendapat perhatian lebih serius. Petani kecil yang tidak tergabung dalam koperasi atau mitra perusahaan menjadi pihak paling terdampak dalam situasi ini.
Setelah GAPKI mengumumkan penundaan pajak ekspor, pasar merespons dengan cepat. Harga tandan buah segar (TBS) langsung turun drastis. Penurunan ini terjadi bukan karena kualitas, melainkan ketidakpastian pasar. Petani kecil yang bergantung pada harga harian sangat terpukul. Mereka tidak memiliki cadangan modal besar. Dalam kondisi ini, banyak yang memilih menjual dengan harga rendah agar tetap bisa bertahan hidup. Ketidakpastian ini memperparah kondisi ekonomi keluarga petani.
“Baca Juga : CMF Phone 2 Pro Rilis, Ini Spesifikasi Kamera yang Diunggulkan”
Ketiadaan kebijakan pajak yang konsisten membuat petani kecil kehilangan daya tawar. Mereka tak mampu menentukan harga. Perusahaan besar tetap bisa menyimpan stok atau menunggu harga naik. Sebaliknya, petani kecil harus menjual hasil panen secara langsung. Bahkan dalam beberapa kasus, tengkulak memanfaatkan situasi ini. Mereka membeli TBS dengan harga sangat rendah. Petani tak punya pilihan selain menjual, meski dalam hati menjerit. Kesenjangan antara petani dan pengusaha besar makin melebar.
Penurunan harga yang drastis berdampak pada motivasi petani. Banyak yang akhirnya menunda pemupukan atau perawatan pohon. Jika ini terjadi terus-menerus, produktivitas akan menurun. Bahkan, beberapa petani memilih berhenti sementara dari bertani. Mereka mencari pekerjaan lain demi menyambung hidup. Siklus ini menciptakan masalah baru dalam rantai pasok CPO nasional. Jika dibiarkan, akan memengaruhi total produksi dan ekspor Indonesia di masa depan.
“Simak juga: Masyarakat Desa Dukung Program Optimis Kopdes Merah Putih”
Di sisi lain, pemerintah daerah juga dalam posisi sulit. Mereka harus menjembatani kepentingan nasional dan keluhan masyarakat lokal. Namun, tanpa wewenang mengatur ekspor atau pajak, mereka hanya bisa menyuarakan aspirasi. Banyak kepala daerah yang akhirnya mendesak pusat agar mengambil tindakan segera. Beberapa menyarankan insentif langsung untuk petani kecil. Tujuannya agar mereka tetap bertahan sampai harga kembali stabil. Langkah ini belum mendapat respons konkret dari pemerintah pusat.
Sebagian petani yang tergabung dalam koperasi memang sedikit lebih aman. Namun koperasi juga tidak luput dari dampak penurunan harga. Mereka tetap harus menjual ke pabrik dengan harga pasar. Walau punya posisi tawar sedikit lebih baik, tekanan tetap tinggi. Koperasi yang tidak dikelola secara profesional juga berisiko kolaps. Apalagi jika volume produksi turun dan biaya operasional meningkat. Tanpa sokongan dari lembaga keuangan, koperasi sulit bertahan lama dalam situasi ini.
Dampak ekonomi tak bisa dilepaskan dari efek sosial. Ketika penghasilan turun drastis, banyak anak petani terpaksa putus sekolah. Masalah gizi pun mulai muncul di beberapa wilayah. Terlebih bagi keluarga petani yang memiliki balita. Ketimpangan sosial juga makin terlihat. Ketika perusahaan tetap mendapat keuntungan, petani justru jatuh miskin. Hal ini memunculkan rasa ketidakadilan yang bisa meledak kapan saja. Apalagi jika tidak ada komunikasi yang jelas dari pemerintah.
Petani kecil di Kalimantan tidak menolak kebijakan nasional. Mereka hanya ingin keadilan dalam proses dan hasilnya. Penundaan pajak ekspor seharusnya diiringi dengan perlindungan bagi petani. Misalnya melalui subsidi dari CPO, jaminan harga dasar, atau penguatan koperasi. Jika hal ini dilakukan, efek domino negatif bisa ditekan. Tapi bila dibiarkan, kerugian ekonomi akan meluas. Tidak hanya di Kalimantan, tapi juga di daerah lain yang bergantung pada sawit.