Jurnal Tempo – Pagi yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan di Bondi Beach berubah menjadi mimpi buruk nasional. Perayaan Hanukkah yang dihadiri keluarga dan wisatawan berakhir tragis ketika Sajid Akram dan putranya, Naveed Akram, melepaskan tembakan ke arah kerumunan. Sedikitnya 16 orang kehilangan nyawa, sementara puluhan lainnya terluka dan trauma. Australia, yang dikenal relatif aman dari serangan teror berskala besar, kembali dipaksa menghadapi kenyataan pahit tentang ancaman ekstremisme domestik. Di balik dentuman senjata itu, publik mulai bertanya: bagaimana dua warga biasa bisa melakukan aksi sekejam ini? Penyelidikan aparat kemudian membuka lapisan demi lapisan cerita yang mengarah jauh melampaui pantai Sydney, menelusuri perjalanan ideologi, pengaruh jaringan radikal, dan celah keamanan yang perlahan membentuk tragedi ini.
Perjalanan Rahasia ke Asia Tenggara
Fakta mengejutkan muncul ketika sumber keamanan mengungkap bahwa Sajid dan Naveed Akram sempat bepergian ke Filipina pada awal November, sekitar sebulan sebelum serangan. Dari Manila, keduanya melanjutkan perjalanan ke wilayah selatan Filipina yang dikenal rawan aktivitas militan. Di kawasan tersebut, mereka diduga mengikuti pelatihan bersifat militer. Informasi ini menambah dimensi baru dalam penyelidikan, karena menunjukkan adanya persiapan terencana, bukan aksi spontan. Meski detail lokasi dan durasi pelatihan belum diungkap sepenuhnya, pola perjalanan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan aparat keamanan regional. Asia Tenggara, khususnya Mindanao, memang lama dikenal sebagai simpul pergerakan ekstremis lintas negara. Kepulangan ayah dan anak itu ke Australia pada akhir November mempersempit jarak antara latihan ideologis dan aksi nyata yang kemudian mengguncang Bondi Beach.
“Baca Juga : Prabowo Tegaskan Negara Kembali Menguasai 4 Juta Hektare Lahan”
Mindanao dan Bayang-Bayang Kamp Militan
Wilayah selatan Filipina bukan sekadar latar geografis dalam kisah ini. Sejak awal 1990-an, kawasan tersebut menjadi tempat tumbuhnya kembali kamp-kamp pelatihan militan yang sebelumnya berpusat di perbatasan Pakistan–Afghanistan. Hutan lebat, konflik berkepanjangan, dan lemahnya pengawasan di beberapa area menjadikan Mindanao lokasi strategis bagi kelompok ekstremis. Bagi aparat kontra-terorisme, setiap perjalanan ke wilayah ini langsung memicu alarm kewaspadaan. Dugaan bahwa Sajid dan Naveed Akram mengikuti pelatihan di sana memperkuat asumsi bahwa serangan Bondi Beach memiliki dimensi transnasional. Meski belum ada konfirmasi resmi soal kelompok yang terlibat langsung, pola ini mencerminkan bagaimana ideologi kekerasan dapat berpindah lintas negara, memanfaatkan celah hukum dan geografis untuk berkembang sebelum akhirnya meledak dalam bentuk tragedi kemanusiaan.
Jejak Lama Naveed Akram di Radar Intelijen
Penyelidikan juga menyoroti masa lalu Naveed Akram yang ternyata pernah masuk radar intelijen Australia, ASIO, pada 2019. Saat itu, Naveed yang masih berusia 18 tahun disebut memiliki hubungan dengan individu-individu yang terkait jaringan ISIS di Sydney. Seorang sumber keamanan menyebut adanya “indikasi niat” dan asosiasi yang mengkhawatirkan, meski penyelidikan lanjutan kala itu dihentikan. Keputusan tersebut kini dipertanyakan publik, terutama setelah tragedi terjadi. Menteri Dalam Negeri Australia, Tony Burke, mengakui bahwa profil Naveed mengalami perubahan signifikan sejak penyelidikan awal tersebut. Fakta ini memunculkan refleksi pahit tentang betapa cepatnya proses radikalisasi dapat berkembang, terutama pada generasi muda, dan betapa sulitnya memprediksi kapan ide ekstrem berubah menjadi tindakan mematikan.
“Baca Juga : Gus Ipul Klarifikasi Aturan Donasi: Dorongan untuk Transparansi, Bukan Larangan”
Koneksi Ideologis dan Penyangkalan Publik
Hubungan Naveed Akram dengan sejumlah tokoh radikal turut menjadi sorotan. Nama Wisam Haddad dan Youssef Uweinat muncul dalam laporan ABC News sebagai bagian dari jaringan yang pernah bersinggungan dengannya. Uweinat diketahui sebagai perekrut remaja untuk ISIS dan telah divonis bersalah. Sementara itu, Haddad melalui kuasa hukumnya dengan tegas membantah memiliki keterlibatan atau pengetahuan terkait serangan Bondi Beach. Penyangkalan ini menegaskan kompleksitas penyelidikan terorisme, di mana batas antara pengaruh ideologis dan keterlibatan langsung sering kali kabur. Bagi keluarga korban, perdebatan ini mungkin terasa jauh dari keadilan yang mereka harapkan. Namun bagi aparat, setiap simpul koneksi menjadi potongan penting untuk memahami jaringan yang memungkinkan tragedi ini terjadi.
Alarm Baru bagi Keamanan Nasional
Ditemukannya dua bendera ISIS di dalam mobil keluarga Akram menjadi simbol kuat yang memperdalam kekhawatiran publik. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa serangan Bondi Beach bukan sekadar aksi kekerasan individual, melainkan bagian dari proses radikalisasi yang lebih luas. Tragedi ini memaksa Australia mengevaluasi ulang sistem deteksi dini, kerja sama intelijen internasional, dan pendekatan pencegahan ekstremisme. Di tengah duka nasional, muncul kesadaran bahwa ancaman tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa tumbuh perlahan di dalam masyarakat sendiri. Bondi Beach kini bukan hanya nama destinasi wisata, tetapi juga pengingat pahit tentang pentingnya kewaspadaan kolektif terhadap ideologi kebencian yang menyasar kemanusiaan.