Jurnal Tempo – Hari Buruh Internasional atau May Day tahun ini kembali menjadi sorotan publik. Di berbagai kota, ribuan buruh turun ke jalan membawa tuntutan. Mereka menyuarakan keresahan atas ketimpangan dan ketidakadilan yang masih terjadi. Dari masalah upah yang tak layak, sistem kerja yang eksploitatif, hingga isu teknologi kecerdasan buatan atau AI yang dinilai mengancam pekerjaan manusia. Namun, yang menarik perhatian luas adalah dimasukkannya isu eksploitasi anak magang dalam daftar tuntutan. Isu ini menyentuh langsung perasaan banyak orang karena menyangkut masa depan generasi muda. Sorotan terhadap AI pun menyulut perdebatan publik soal batas penggunaan teknologi dalam dunia kerja.
Dalam peringatan May Day 2025 ini, buruh menyampaikan 11 tuntutan utama. Mereka tidak hanya menyoal kenaikan upah minimum. Mereka juga menuntut penghentian praktik outsourcing yang kian meluas. Dalam banyak kasus, pekerja outsourcing tidak mendapat hak yang setara. Tuntutan lain adalah jaminan kerja yang lebih baik bagi pekerja rentan. Para buruh juga menyoroti ancaman kecerdasan buatan (AI). Mereka khawatir teknologi ini akan menggantikan banyak posisi manusia. Di sisi lain, serikat buruh menuntut regulasi yang jelas terhadap program pemagangan. Mereka menilai, praktik magang banyak disalahgunakan oleh perusahaan. Anak magang tidak diberi pelatihan, tapi diperlakukan seperti karyawan penuh.
“Baca Juga : Kasus Dugaan Anak Tertukar: Klarifikasi dan Hasil Tes DNA Terungkap”
Penggunaan AI dalam industri sebenarnya bukan hal baru. Namun, perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan ketegangan baru. Buruh merasa tidak dilibatkan dalam proses transisi ini. Banyak perusahaan memilih otomatisasi tanpa memberi pelatihan ulang pada karyawan. Hal ini menimbulkan gelombang PHK yang tidak terantisipasi. Dalam tuntutannya, serikat meminta pemerintah mengatur batas penggunaan AI. Mereka juga menginginkan pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak otomatisasi. Serikat menilai, transisi ke teknologi harus bersifat adil dan inklusif. Mereka menuntut agar AI tidak menggantikan pekerjaan manusia secara total. Alih-alih mengganti manusia, AI seharusnya digunakan untuk mendukung pekerjaan manusia.
Salah satu tuntutan yang paling mengundang perhatian adalah soal eksploitasi magang. Banyak perusahaan di Indonesia dinilai menyalahgunakan program pemagangan. Mereka mempekerjakan siswa atau mahasiswa magang seperti pegawai tetap. Namun, mereka tidak memberi upah layak, bahkan tidak memberi pelatihan. Dalam banyak kasus, anak magang justru diberi beban kerja berlebihan. Serikat buruh meminta pengawasan ketat terhadap program ini. Mereka juga mendesak revisi regulasi agar magang benar-benar bersifat edukatif. Beberapa laporan bahkan menyebut adanya magang di sektor berbahaya. Anak magang bekerja di pabrik tanpa pelindung keselamatan yang memadai. Ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi yang harus segera dihentikan.
“Simak juga: Rosan Ungkap Apple Sudah Beli Lahan, Investasi di Batam Terus Melaju”
Menanggapi 11 tuntutan buruh ini, pemerintah menyatakan sedang mengevaluasi beberapa regulasi. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut akan mengkaji kembali aturan magang. Mereka juga berjanji akan berdialog dengan perwakilan buruh dan pengusaha. Beberapa perusahaan besar sudah mulai membuka ruang diskusi tentang dampak AI. Namun belum semua perusahaan siap merespons dengan konkret. Sebagian kalangan industri menilai AI adalah keharusan untuk efisiensi. Mereka menganggap, persaingan global memaksa perusahaan berinovasi. Serikat buruh tetap mendesak agar setiap kebijakan industrialisasi tetap mengedepankan kesejahteraan pekerja. Mereka tak ingin pekerja dikorbankan atas nama efisiensi. Reaksi pemerintah dinilai masih terlalu lambat oleh sebagian aktivis buruh.
Selain dua isu utama di atas, tuntutan lain juga tak kalah penting. Buruh meminta pemerintah menetapkan standar upah minimum sektoral. Mereka menilai upah minimum provinsi tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, ada desakan agar BPJS Ketenagakerjaan direformasi total. Banyak pekerja mengeluhkan pelayanan yang buruk dan lambat. Buruh juga menuntut penghapusan sistem kerja kontrak yang merugikan. Mereka ingin kepastian kerja dan jenjang karier yang adil. Dalam tuntutannya, serikat buruh juga menyoroti perlunya cuti haid dan cuti melahirkan yang lebih manusiawi. Mereka menolak kebijakan sepihak dari perusahaan yang melanggar hak-hak ini. Keseimbangan antara produktivitas dan hak pekerja menjadi isu yang terus diangkat.