7 Perusahaan Asuransi Berpotensi Rugi Rp19 Triliun, Apa Sinyal Bahayanya?
Jurnal Tempo – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa terdapat tujuh perusahaan asuransi yang masuk dalam kategori pengawasan intensif dan khusus. Nilai potensi kerugian yang dibukukan mencapai Rp19,34 triliun. Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyebut penurunan nilai manfaat mencapai 52,91 persen. Meski begitu, OJK tidak merinci nama-nama perusahaan yang dimaksud.
Dalam kesempatan tersebut, OJK juga mengusulkan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diberikan kewenangan lebih besar. Selama ini, LPS hanya berperan dalam likuidasi perusahaan asuransi insolvent. Melalui revisi UU P2SK, OJK berharap LPS juga dapat melakukan resolusi untuk menyelamatkan perusahaan yang kesulitan keuangan, sejalan dengan mandat Program Penjaminan Polis (PPP).
Baca Juga : Petarung MMA Dunia Suarakan Solidaritas untuk Palestina
Menurut pengamat asuransi Ivan Rahardjo, kerugian yang dialami perusahaan asuransi umumnya berakar dari tata kelola yang buruk. Modal yang lemah dan pengelolaan aset yang tidak seimbang dengan kewajiban sering menjadi masalah. Hal ini tercermin dari rendahnya rasio Risk Based Capital (RBC) yang berada di bawah ketentuan minimal 120 persen. Kondisi ini menandakan perusahaan tidak siap memenuhi kewajiban klaim nasabah.
Selain masalah modal, investasi yang tidak berkualitas juga menjadi penyebab lain. Instrumen investasi yang gagal ditagih membuat perusahaan kehilangan potensi pendapatan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi ikut terguncang. Ivan menilai meskipun dampaknya tidak sistemik bagi perekonomian, risiko reputasi bagi industri asuransi sangat besar.
Baca Juga : Pemulihan Psikologis Jadi Kebutuhan Mendesak Anak Penyintas Kanker
Dari sisi kontribusi terhadap perekonomian nasional, sektor asuransi masih terbilang kecil. Data Februari 2025 menunjukkan sumbangan industri asuransi hanya sekitar 5,16 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Walaupun relatif kecil, kepercayaan publik tetap perlu dijaga agar tidak menurunkan minat masyarakat terhadap produk asuransi.
Ivan menegaskan bahwa langkah antisipatif yang paling efektif adalah meningkatkan pengawasan dan memperkuat permodalan. Dengan pengawasan ketat, perusahaan dapat ditekan untuk lebih disiplin dalam mengelola aset dan kewajiban. Hal ini juga penting untuk menjaga perlindungan konsumen agar nasabah tidak dirugikan dalam jangka panjang.
Pengamat asuransi lainnya, Arman Jufry, menyoroti permasalahan underwriting pada asuransi jiwa. Underwriting yang salah dalam menilai risiko calon nasabah dapat menimbulkan klaim besar di kemudian hari. Jika klaim yang muncul tidak sebanding dengan premi yang diterima, perusahaan berpotensi mengalami kerugian signifikan.
Sementara pada perusahaan asuransi umum, risiko muncul dari long tail claim. Klaim semacam ini baru terlihat atau dibayarkan bertahun-tahun setelah polis diterbitkan. Jika perusahaan tidak mencadangkan dana premi dengan baik, kondisi tersebut bisa menimbulkan kerugian mendalam. Arman menilai lemahnya reservasi premi merupakan salah satu akar masalah klasik di sektor ini.
Untuk mencegah kerugian lebih besar, Arman menekankan pentingnya proses underwriting yang tepat, hati-hati, dan sesuai standar aktuaria. Selain itu, premi harus ditetapkan secara memadai agar perusahaan memiliki dana cukup untuk membayar klaim. Dengan begitu, risiko insolvensi dapat ditekan seminimal mungkin.
Di samping upaya internal perusahaan, pengawasan dari OJK tetap memegang peranan vital. Sebagai regulator, OJK harus memastikan praktik asuransi berjalan sesuai aturan dan melindungi kepentingan nasabah. Dengan langkah pengawasan yang lebih ketat, diharapkan potensi kerugian besar seperti yang dialami tujuh perusahaan tersebut tidak terulang.