Jurnal Tempo – Pada awal pekan ini, nilai tukar rupiah terpuruk kembali terhadap dolar Amerika Serikat (AS) . Rupiah diperdagangkan di level Rp15.758 per dolar AS, menandai pelemahan yang signifikan di tengah kondisi ekonomi global yang belum stabil. Penguatan mata uang asing secara serempak di pasar global memberikan tekanan berat bagi rupiah, mengakibatkan tren pelemahan yang konsisten dalam beberapa waktu terakhir.
“Baca juga: Pengadilan Rusia Jatuhkan Denda Fantastis ke Google, Simak Penjelasannya”
Pelemahan rupiah menjadi perhatian pasar dan masyarakat Indonesia, terutama akibat faktor eksternal seperti penguatan dolar AS. Hal ini dipicu oleh kebijakan moneter ketat dari Federal Reserve untuk menekan inflasi di AS.
Langkah agresif The Fed dalam menaikkan suku bunga membuat arus modal kembali ke AS, karena investor global lebih memilih aset dolar yang lebih aman dan menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Ini mendorong permintaan dolar dan melemahkan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
“Simak juga: Update Harga Emas Antam: Turun Rp 8.000 pada Sabtu, 2 November 2024”
Penguatan dolar AS didorong oleh laporan pemulihan ekonomi di sektor utama, meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi hingga inflasi terkendali.
Pelemahan rupiah juga diperburuk oleh ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh konflik geopolitik dan fluktuasi harga komoditas. Ketegangan geopolitik, termasuk konflik Rusia-Ukraina, memicu volatilitas pasar global dan memberi tekanan tambahan pada rupiah, terutama karena tingginya biaya devisa untuk impor minyak dan gas.
Pelemahan rupiah berdampak langsung pada sektor domestik, terutama karena kenaikan harga bahan baku impor yang meningkatkan biaya produksi. Hal ini berpotensi memicu kenaikan harga barang dan jasa di dalam negeri, menyulitkan industri yang bergantung pada impor untuk menjaga efisiensi dan stabilitas harga.
Selain itu, depresiasi rupiah juga mengancam daya beli masyarakat akibat inflasi, terutama pada produk impor. Walau pemerintah menjaga harga bahan pokok, tekanan biaya impor bisa menaikkan harga pasar dan menurunkan daya beli masyarakat.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga mengambil langkah-langkah seperti intervensi di pasar valuta asing dan penyesuaian suku bunga acuan telah dilakukan guna menahan laju pelemahan rupiah. Namun, pengaruh dari kebijakan global yang cenderung ketat tetap menjadi tantangan besar bagi stabilitas nilai tukar di Indonesia.
Meski demikian, Bank Indonesia optimis bahwa fundamental ekonomi domestik Indonesia masih cukup kuat untuk menghadapi tekanan eksternal. Inflasi di dalam negeri masih terkendali, dan cadangan devisa yang dimiliki cukup memadai untuk menahan tekanan terhadap rupiah.