Jurnal Tempo – Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan kembali menjadi perbincangan publik menjelang 2025, setelah Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan paling lambat pertengahan 2025. Usulan ini disampaikan sebagai langkah untuk menutupi defisit keuangan yang semakin mengancam keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kenaikan iuran dianggap sebagai solusi untuk menjaga kelangsungan program kesehatan yang vital bagi jutaan warga Indonesia.
BPJS Kesehatan menghadapi masalah defisit di mana biaya klaim yang dibayarkan kepada peserta semakin tinggi dibandingkan dengan penerimaan iuran. Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby, mengungkapkan bahwa gap antara biaya dan penerimaan semakin melebar. Bahkan, rasio klaim terhadap premi mencapai 100%, yang membuat BPJS Kesehatan kesulitan menutupi biaya klaim yang terus meningkat. Akibatnya, untuk menjaga kelangsungan JKN, salah satu langkah yang dipertimbangkan adalah kenaikan iuran.
Saat ini, iuran BPJS Kesehatan untuk peserta Kelas 1 adalah Rp150.000 per bulan, Kelas 2 Rp100.000, dan Kelas 3 Rp35.000, di mana Kelas 3 mendapatkan subsidi pemerintah sebesar Rp7.000 per bulan. Iuran yang sudah bertahan selama beberapa tahun tanpa perubahan ini dinilai tidak lagi mencukupi untuk menutupi biaya yang semakin besar. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan mengusulkan adanya kenaikan iuran pada 2025.
“Baca juga: Dorong Kemandirian: Pemerintah Wajibkan Industri Serap Susu Peternak Lokal”
Meskipun kenaikan iuran dapat menjadi solusi, banyak pihak yang meragukan apakah langkah ini akan benar-benar membantu tanpa memberikan dampak negatif yang besar terhadap masyarakat. Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI), Ronny P. Sasmita, mengungkapkan bahwa BPJS Kesehatan adalah bentuk intervensi negara dalam sistem kesehatan, yang tujuannya bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, kenaikan iuran harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama pekerja dengan pendapatan rendah yang sedang tertekan secara ekonomi.
Ronny menekankan pentingnya data yang akurat dari pemerintah untuk mendasari keputusan ini. Kenaikan iuran yang terlalu tinggi bisa membebani daya beli pekerja dan kelas menengah yang sudah merasakan tekanan ekonomi selama dua tahun terakhir.
“Simak juga: Biaya Makan Bergizi Gratis Rp 71 Triliun, Pengadaan Susu Lokal Hanya Rp 1,5 Triliun”
Ronny juga menyarankan agar kenaikan iuran BPJS Kesehatan mempertimbangkan faktor lain, seperti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun ini dan tahun depan. Jika UMP tidak cukup meningkat untuk menyeimbangkan kenaikan iuran, maka hal ini bisa menambah beban pada pekerja.