Jurnal Tempo – Dalam beberapa hari terakhir, Banjir Maut Asia Tenggara menghadapi bencana banjir yang datang bertubi-tubi dan merenggut banyak korban jiwa. Indonesia, Thailand, dan Malaysia melaporkan kondisi darurat setelah hujan lebat memaksa sungai-sungai meluap dan menenggelamkan permukiman. Di Indonesia, Sumatera Utara menjadi titik yang paling terpukul. Sebanyak 19 orang dilaporkan tewas, sementara puluhan lainnya masih hilang dalam kondisi yang penuh ketidakpastian. Basarnas menyebut beberapa wilayah terputus total akibat longsor dan puing yang menutup akses jalan. Kondisi ini diperparah dengan padamnya listrik dan komunikasi, membuat upaya evakuasi berjalan lambat. Banjir kali ini bukan hanya menyapu rumah, tetapi juga mengguncang rasa aman masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan ancaman alam.
Kesaksian Warga Sumatera Utara yang Terjebak Tanpa Bantuan
Di tengah kepanikan, banyak keluarga harus menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan pertolongan. Kisah para penyintas menggambarkan betapa cepatnya air naik, membuat mereka tidak sempat menyelamatkan barang berharga. Di beberapa desa, ketinggian banjir mencapai tiga meter hingga memaksa warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Hujan tak kunjung reda, suara runtuhan tanah terus terdengar, dan para warga hanya bisa berharap tim penyelamat segera datang. Dalam laporan langsung, Basarnas menekankan bahwa medan yang sulit dan jarak antarwilayah memperlambat evakuasi. Situasi ini mengingatkan kembali betapa rentannya masyarakat ketika bencana datang tanpa memberi banyak waktu untuk bersiap.
“Baca Juga : Banjir dan Longsor Sumbar 2025: Luka Kolektif di Tanah Minang”
Aceh Menjadi Daerah yang Tak Luput dari Terjangan Air Bah
Aceh juga tak terhindar dari bencana besar ini. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah air meluap dan memutus jalur transportasi utama. Banyak rumah yang selama puluhan tahun menjadi tempat berlindung kini tenggelam hingga ke atapnya. Ibnu Sina, seorang warga Lhokseumawe, menggambarkan betapa sulitnya situasi yang mereka hadapi. Ia mengatakan jalan raya utama kini tidak dapat dilalui, membuat seluruh wilayah seperti terisolasi total. Ceritanya menjadi refleksi dari apa yang dirasakan banyak warga: keputusasaan, ketidakpastian, dan kecemasan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap detik terasa panjang ketika bencana memaksa mereka meninggalkan segalanya.
Thailand Selatan Lumpuh, Warga Selamatkan Diri ke Atap Rumah
Di Thailand, situasinya tidak jauh berbeda. Sistem cuaca yang sama menyebabkan banjir besar di beberapa provinsi bagian selatan, khususnya di Kota Hat Yai. Banyak distrik tenggelam hingga memaksa warga memanjat atap rumah untuk berlindung dari terjangan air yang naik begitu cepat. Otoritas Thailand menyebut 33 orang tewas akibat bencana ini. Meski air mulai surut di pusat kota, sebagian warga belum bisa kembali ke rumah karena masih tingginya genangan di beberapa wilayah. Kesaksian Kamban Wongpanya, seorang warga senior berusia 67 tahun, menunjukkan betapa menegangkannya proses evakuasi. Ia mengatakan air hampir mencapai plafon lantai dua sebelum akhirnya tim penyelamat datang dengan perahu.
“Baca Juga : Vonis 4,5 Tahun untuk Eks Dirut ASDP: Babak Baru Kasus Akuisisi PT JN”
Dampak Psikologis dan Kerugian Fisik yang Lebih Besar dari Angka
Bencana ini bukan hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dalam. Banyak keluarga kehilangan orang yang mereka cintai, sementara yang lainnya kehilangan tempat tinggal yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Anak-anak terpaksa mengungsi tanpa tahu kapan mereka bisa kembali bersekolah. Di berbagai titik, suara tangis bercampur dengan upaya para relawan yang bekerja siang dan malam. Pemerintah di masing-masing negara mencoba mengoordinasikan bantuan, namun besarnya wilayah terdampak membuat respons tidak selalu merata. Krisis ini mengingatkan betapa pentingnya kesiapsiagaan bencana, terutama ketika perubahan iklim membuat cuaca semakin sulit diprediksi.
Wilayah Perbatasan Malaysia Turut Mengalami Dampak Serius
Meskipun tidak disebutkan secara rinci dalam laporan awal, wilayah Malaysia yang berada di dekat perbatasan Thailand juga menghadapi banjir serupa. Air menggenangi desa-desa kecil, memaksa ratusan keluarga mencari tempat yang aman. Banjir besar ini menambah panjang daftar bencana yang terjadi di kawasan tersebut sepanjang tahun. Banyak warga merasa bahwa intensitas hujan kali ini berbeda dari biasanya, seolah datang dengan kekuatan yang sulit dijelaskan. Di pusat-pusat evakuasi, relawan terus bekerja mendistribusikan makanan dan kebutuhan dasar. Meski begitu, banyak pengungsi yang masih khawatir tentang masa depan rumah mereka dan bagaimana mereka akan memulai kembali hidup setelah bencana berlalu.
Harapan Baru Setelah Bencana Melanda
Meskipun tragedi ini meninggalkan luka besar, masyarakat Asia Tenggara menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Di banyak tempat, warga saling membantu, berbagi makanan, dan memberikan tempat berlindung bagi keluarga lain yang kehilangan rumah. Para relawan, tim penyelamat, dan lembaga kemanusiaan bergerak bersama tanpa mengenal lelah. Dari Sumatera Utara hingga Hat Yai, dari Lhokseumawe hingga wilayah perbatasan Malaysia, semangat gotong royong menjadi titik terang di tengah duka. Di balik bencana yang memisahkan ribuan keluarga dari rutinitas mereka, ada harapan bahwa kawasan ini akan bangkit kembali dengan lebih kuat. Perjuangan ini belum selesai, tetapi langkah-langkah kecil yang dilakukan hari ini menjadi tanda bahwa masyarakat tidak berjuang sendirian.