Jurnal Tempo – Saat ketegangan politik internasional memuncak, visa mahasiswa menjadi alat baru dalam diplomasi dan tekanan politik. Negara-negara yang sebelumnya menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat, tiba-tiba mengalami pembatasan akses visa bagi para pelajar mereka. Ini bukan hanya sekadar persoalan administrasi imigrasi. Ini adalah manuver politik. Presiden Donald Trump semasa jabatannya kerap menggunakan kebijakan visa sebagai cara untuk menegaskan posisi politik luar negeri. Bahkan tak jarang menimbulkan kemarahan dari negara-negara sahabat. Dalam satu dekade terakhir, lebih dari 20 negara mencatatkan insiden terkait visa mahasiswa ke Amerika. Beberapa dari mereka menyebut keputusan tersebut sebagai bentuk “hukuman diplomatik”. Langkah ini jelas bukan hanya berdampak pada mahasiswa secara personal. Tapi juga memengaruhi kerja sama akademik dan penelitian lintas negara.
Negara-negara seperti Tiongkok, Iran, dan Nigeria berada di daftar teratas negara dengan mahasiswa yang paling banyak ditolak visanya. Pemerintah AS menyebut adanya ancaman keamanan nasional sebagai alasan utama. Namun laporan-laporan dari organisasi hak asasi manusia menyebut alasan tersebut sering kali tidak berdasar kuat. Banyak mahasiswa yang telah mendapat beasiswa dari universitas top Amerika. Namun harus membatalkan rencana studi mereka karena visanya dicabut secara sepihak. Pemerintah Tiongkok bahkan menyebut perlakuan ini sebagai bentuk diskriminasi akademik. Di sisi lain, mahasiswa dari negara-negara tersebut tak bisa melanjutkan studi karena proses administrasi yang dipersulit.
“Baca Juga : PertaLife Ukir Prestasi Keuangan yang Tak Pernah Tercapai Sebelumnya”
Langkah-langkah proteksionis terhadap mahasiswa internasional menimbulkan efek domino pada kerja sama akademik global. Banyak program riset bersama antara kampus di AS dan mitra luar negeri terganggu. Misalnya, program penelitian energi terbarukan antara MIT dan universitas di Jerman mengalami penundaan. Karena dua mahasiswa asal Iran tidak diizinkan masuk ke AS. Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam eksperimen penting dan pemborosan anggaran riset. Di sisi lain, universitas-universitas Amerika juga merugi karena berkurangnya mahasiswa internasional. Padahal kontribusi finansial dari mahasiswa asing sangat besar.
Negara-negara yang warganya terkena dampak pembatasan visa mahasiswa mulai mengambil langkah balasan. Pemerintah India, misalnya, memperketat visa bagi warga negara AS yang bekerja di sektor teknologi. Iran bahkan menghentikan seluruh program pertukaran pelajar dengan universitas Amerika. Hubungan bilateral yang tadinya stabil menjadi renggang hanya karena persoalan visa. Ini memperlihatkan bahwa kebijakan imigrasi bisa menjadi alat tekanan yang sangat tajam. Ketika digunakan secara politis, visa mahasiswa bisa menimbulkan kerusakan jangka panjang.
“Simak juga: HP Flagship Honor: Siap Mengguncang Pasar Indonesia”
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Amerika sendiri banyak yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Para rektor dan dekan mengirim surat terbuka ke Gedung Putih. Mereka meminta agar mahasiswa internasional tidak dijadikan pion politik. Banyak profesor kehilangan asisten riset berbakat karena visa tidak diberikan. Beberapa universitas bahkan mengalami penurunan dalam peringkat dunia karena kolaborasi internasional yang macet. American Council on Education menyebut kebijakan ini kontraproduktif bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Protes tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari institusi pendidikan dunia.
Mahasiswa yang niatnya hanya ingin belajar kini terjebak dalam jaring politik global. Banyak dari mereka merasa kecewa dan kehilangan arah. Seorang mahasiswa asal Turki yang mendapat beasiswa penuh dari Stanford harus pulang setelah visanya dibatalkan. Tidak ada kejelasan atau alasan resmi dari imigrasi. Ia kini menjalani studi jarak jauh dengan segala keterbatasannya. Situasi ini membuat banyak calon mahasiswa berpikir ulang untuk memilih AS sebagai destinasi studi. Negara-negara seperti Kanada dan Australia mulai jadi pilihan alternatif yang lebih aman dan ramah.
Meski administrasi Trump telah berakhir, warisan kebijakan ini masih terasa. Pemerintah AS berikutnya menghadapi dilema. Apakah akan melanjutkan kebijakan visa yang ketat atau membuka kembali ruang bagi mahasiswa internasional. Banyak pihak berharap agar dunia pendidikan tidak dijadikan ajang pertarungan politik. Namun faktanya, visa tetap menjadi instrumen diplomasi yang kuat. Negara-negara yang terkena dampak masih menyuarakan ketidakpuasan mereka. Beberapa bahkan membawa isu ini ke forum internasional.