Pemerintah Berencana Tambah 10 Persen Saham Freeport, Peluang Untung atau Risiko?
Jurnal Tempo – Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan langkah strategis untuk menambah kepemilikan saham sebesar 10 persen atau lebih di PT Freeport Indonesia (PTFI). Langkah ini muncul dalam rangka negosiasi perpanjangan kontrak Freeport hingga tahun 2061. Meski saat ini pemerintah sudah memiliki saham mayoritas 51 persen melalui MIND ID, wacana penambahan ini memicu diskusi panjang mengenai untung dan ruginya kebijakan tersebut.
Menurut Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, negosiasi awal yang dilakukan menyebutkan potensi penambahan hingga 10 persen saham. Bahlil bahkan menegaskan bahwa jumlahnya bisa lebih besar dari itu. Ia juga berencana bertemu langsung dengan manajemen Freeport untuk membahas mekanisme divestasi. Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah tambahan saham tersebut benar-benar menguntungkan Indonesia?
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai perpanjangan kontrak hingga 2061 penuh risiko. Faktor geopolitik, dinamika investasi global, serta perkembangan teknologi pertambangan bisa berubah drastis. Menurutnya, penambahan saham tanpa embel-embel perpanjangan kontrak mungkin masih relevan. Namun, jika syaratnya harus memperpanjang kontrak, ia menilai hal tersebut sebaiknya ditolak.
Meskipun Indonesia telah memiliki 51 persen saham, kendali strategis tetap berada di tangan Freeport-McMoRan, induk usaha asal Amerika Serikat. Fahmy menegaskan, keputusan strategis kerap ditentukan pihak asing, mulai dari ekspor konsentrat hingga pengelolaan smelter. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa jika kontrak diperpanjang, pengendali utama harus berpindah ke MIND ID agar kepentingan nasional benar-benar terjaga.
Dari sisi keuntungan, tambahan 10 persen saham dinilai hanya memberi tambahan dividen bagi negara. Namun, menurut Fahmy, potensi keuntungannya tidak terlalu signifikan. Pasalnya, Freeport kini memasuki fase penambangan bawah tanah (undermining) yang memerlukan teknologi canggih dan biaya besar. Kondisi ini berpotensi menurunkan laba, yang otomatis berdampak pada turunnya dividen negara.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa penambahan saham seharusnya tidak hanya sebatas simbol kebanggaan nasional. Pemerintah perlu memastikan nilai tambah nyata, terutama agar produk tembaga dan emas Freeport bisa memberi manfaat langsung bagi masyarakat Indonesia. Tanpa itu, penambahan saham hanya menjadi formalitas tanpa dampak signifikan.
Bhima juga mengingatkan bahwa aktivitas pertambangan Freeport memiliki risiko lingkungan yang tinggi. Jika pemerintah menambah porsi saham, tanggung jawab atas dampak negatif bisa menjadi beban negara. Dengan kondisi penerimaan pajak yang menurun dan ruang fiskal yang terbatas, setiap investasi harus benar-benar diperhitungkan. Menurut Bhima, setiap rupiah yang ditanamkan harus memberi manfaat langsung bagi rakyat, bukan sekadar membanggakan kepemilikan.