
Jurnal Tempo – Kasus dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung kembali memanas setelah KPK ungkap salah satu modus yang diduga merugikan negara. Dalam penjelasan terbaru, juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa tim penyelidik menemukan indikasi tanah milik negara dijual kembali ke negara melalui proses pengadaan lahan. Temuan ini memicu perhatian publik karena menunjukkan pola manipulasi yang sistematis. Sambil terus mendalami dokumen dan transaksi terkait, KPK menegaskan bahwa penyelidikan masih berlangsung dan membutuhkan kehati-hatian agar setiap temuan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Melalui pengungkapan ini, publik mulai memahami bagaimana pengondisian proses pengadaan bisa menghasilkan kerugian besar jika tidak diawasi secara ketat.
Temuan dugaan adanya tanah negara yang dijual kembali dan dibayar menggunakan anggaran negara mendorong KPK menelusuri pihak-pihak yang mungkin terlibat. Walau belum membeberkan identitas saksi maupun terduga, penyelidik memastikan fokus mereka tertuju pada pola transaksi yang tidak wajar. Penelusuran dokumen kepemilikan dan riwayat penggunaan lahan menjadi langkah awal untuk mengidentifikasi bagaimana aset negara berpindah tangan secara tidak sah. Melalui pendekatan tersebut, KPK berharap dapat membongkar jaringan oknum yang memanfaatkan proyek strategis nasional sebagai ladang keuntungan pribadi. Kasus ini sekaligus membuka ruang bagi publik untuk memahami pentingnya transparansi dalam pengadaan lahan proyek besar.
“Baca Juga : Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Tutup Usia”
Selain dugaan jual beli ulang tanah negara, KPK juga membidik kemungkinan adanya mark up harga dalam pengadaan lahan proyek Whoosh. Dugaan ini muncul setelah penyelidik menemukan perbedaan nilai antara harga pasar dan nilai transaksi yang dibayarkan pemerintah. KPK menyebutkan bahwa pola mark up kerap menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi di proyek pemerintah, terutama yang melibatkan lahan. Oleh karena itu, mereka menelusuri apakah ada pengondisian dalam menentukan nilai appraisal atau rekayasa administratif yang membuat harga melambung. Langkah ini memungkinkan KPK mengurai rangkaian praktik manipulatif yang merugikan keuangan negara secara signifikan.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa dugaan ini tak sekadar tentang administrasi yang keliru, tetapi tentang potensi pelanggaran hukum yang serius. Ia menyebut adanya oknum yang menjual tanah negara ke negara sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam kondisi apa pun. Asep juga menyoroti bahwa sebagian lahan bahkan dijual di atas harga pasar, mempertegas adanya rekayasa. Penjelasan tersebut menjadi penanda bahwa KPK mengambil langkah agresif untuk memastikan seluruh elemen proses pengadaan diperiksa. Dengan komunikasi publik yang terbuka, KPK berupaya menjaga kepercayaan masyarakat di tengah isu politik dan ekonomi yang terus berubah.
Dalam penyelidikannya, KPK menyoroti aspek legalitas tanah yang digunakan untuk proyek strategis seperti Whoosh. Mereka menelaah apakah tanah tersebut merupakan aset negara, termasuk kawasan hutan atau lahan hasil konversi. Jika terbukti, negara seharusnya tidak perlu membayar untuk menggunakannya. Oleh karena itu, penyelidik menelusuri proses konversi lahan, izin pemanfaatan, hingga bagaimana oknum dapat mengubah status kepemilikan secara manipulatif. Langkah-langkah ini mengingatkan publik bahwa persoalan pengadaan lahan bukan sekadar teknis, tetapi mencerminkan kualitas tata kelola negara dalam menjalankan proyek besar yang dibiayai uang rakyat.