Jurnal Tempo – Jepang kembali menunjukkan komitmen strategisnya di kawasan Asia Tenggara melalui inisiatif Asia Zero Emission Community atau AZEC. Proyek ini bertujuan memperkuat kerja sama energi bersih. Fokus utamanya adalah dekarbonisasi. Indonesia menjadi salah satu mitra utama. Negara ini dianggap potensial dalam transisi energi. Jepang mendorong berbagai proyek ramah lingkungan. Investasi besar telah disiapkan. Pemerintah Indonesia menyambut baik hal tersebut. Namun, kerja sama ini juga menimbulkan sejumlah implikasi. Tidak hanya ekonomi, aspek politik dan sosial juga terpengaruh. Keputusan Indonesia bergabung bukan tanpa risiko. Oleh karena itu, pendekatan strategis diperlukan.
Asia Zero Emission Community adalah forum kerja sama regional. Fokus utamanya adalah energi terbarukan dan teknologi hijau. Jepang menggagas AZEC sebagai solusi iklim. Mereka ingin memimpin transformasi energi di Asia. Indonesia masuk dalam daftar awal peserta. Negara lain seperti Vietnam dan Thailand juga ikut. AZEC bertujuan membentuk pasar karbon Asia. Jepang mengusulkan penggunaan hidrogen dan amonia. Infrastruktur pendukung akan dibangun secara bertahap. Target utamanya mencapai nol emisi karbon. Komunitas ini dijalankan dengan prinsip kolaboratif. Setiap negara bebas menyesuaikan kebijakan domestiknya. Namun, standar teknis tetap dipantau Jepang.
“Baca Juga : Ariel Noah Berhasil Ikut Maraton, Apa Mungkin Tanpa Latihan Lama?”
Sejumlah proyek konkret telah dimulai. Salah satunya pembangunan PLT berbasis amonia. Jepang menyuplai teknologi dan pembiayaan. Indonesia menyediakan lahan dan tenaga kerja. Ada juga proyek hidrogen di Kalimantan Timur. Kolaborasi ini memperkuat hilirisasi sektor energi. Selain itu, pelatihan tenaga kerja juga dilakukan. Jepang mendukung peningkatan kapasitas SDM lokal. Melalui AZEC, Indonesia menerima alih teknologi. Pemerintah mendorong partisipasi BUMN energi. Salah satu yang aktif adalah Pertamina. PLN juga terlibat dalam transisi jaringan listrik. Semua proyek itu diawasi langsung AZEC Secretariat.
Kerja sama ini membawa potensi ekonomi besar. Investasi Jepang dapat memperkuat devisa nasional. Penyerapan tenaga kerja meningkat signifikan. Industri manufaktur energi ikut terdampak positif. Namun, ada tantangan pembiayaan dan teknis. Beberapa proyek dinilai terlalu kompleks. Indonesia perlu perbaikan regulasi investasi. Selain itu, struktur pajak harus kompetitif. Jepang menginginkan kepastian hukum yang kuat. Risiko pembengkakan anggaran harus diantisipasi. Ekspor teknologi energi bisa tumbuh pesat. Indonesia juga dapat menjadi hub kawasan. Jika sukses, nilai tambah sangat tinggi. Tapi bila gagal, kerugian jangka panjang membayangi.
“Simak juga: Singapura Akui Perlambatan Ekonomi Besar-besaran, Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?”
Keterlibatan Jepang bisa menimbulkan ketergantungan politik. Jepang berpotensi menjadi aktor dominan. Hal ini bisa mengganggu kedaulatan energi. Indonesia harus tetap menjaga keseimbangan geopolitik. Cina juga punya program serupa AZEC. Persaingan antara Jepang dan Cina semakin ketat. Indonesia berisiko terseret tarik menarik regional. Jepang ingin memastikan komitmen jangka panjang. Sementara itu, Indonesia menginginkan fleksibilitas kebijakan. Isu kedaulatan energi menjadi krusial. Oleh karena itu, evaluasi rutin sangat penting. Perjanjian harus bersifat adil dan transparan. Pemerintah Indonesia harus jeli membaca arah. Diplomasi energi akan sangat menentukan hasil.
Beberapa proyek energi sering menimbulkan konflik lokal. Warga menolak pembebasan lahan di beberapa wilayah. Dampak ekologis juga menjadi sorotan. Pembangunan PLT amonia rawan mencemari air. Aktivis lingkungan menyuarakan kekhawatiran tersebut. Selain itu, risiko kebisingan dan polusi meningkat. Pemerintah daerah belum semua siap menerima proyek. Koordinasi lintas kementerian masih perlu diperbaiki. Transparansi anggaran dan izin perlu diperkuat. Partisipasi masyarakat lokal harus diperluas. Jika tidak, proyek rawan mendapat resistensi. Jepang mendorong pendekatan berbasis komunitas. Tapi implementasi masih belum seragam. Perlu sistem evaluasi sosial yang lebih ketat.
Indonesia punya posisi kunci dalam AZEC. Potensi sumber daya alam sangat melimpah. Cadangan nikel dan batubara masih besar. Namun arah kebijakan harus fokus ke masa depan. Transisi ke energi bersih tidak bisa ditunda. AZEC memberi jalan untuk percepatan hal itu. Tapi hanya jika disertai regulasi mendukung. Indonesia harus aktif membentuk standar teknis. Bukan hanya menjadi penerima teknologi Jepang. Perlu juga menciptakan inovasi lokal mandiri. Kampus dan lembaga riset harus dilibatkan. Selain itu, Indonesia bisa menjadi juru runding. Dengan begitu, suara Indonesia lebih diperhitungkan.