Jurnal Tempo – Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, kembali melontarkan kritik terkait sistem perpajakan di Indonesia yang menurutnya masih jauh dari kata adil. Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, ia mengibaratkan sistem pajak seperti memancing ikan di danau. Menurut Anies Baswedan, ikan di permukaan yang mudah terlihat justru paling sering tertangkap, sedangkan ikan besar yang bersembunyi di dasar danau lolos dari jaring. Analogi ini menggambarkan bahwa mereka yang tertib membayar pajak, seperti pegawai bergaji tetap maupun pelaku UMKM dengan pembukuan rapi, justru paling sering terbebani. Sebaliknya, kelompok yang menyembunyikan kekayaannya malah sering lolos dari kewajiban. Kritik ini seakan mewakili suara masyarakat yang kerap merasa diperas meski sudah patuh membayar pajak setiap tahun.
“Baca juga: Tudingan Skandal Dana UE Mengguncang Pemerintahan Tusk“
Anies Baswedan menekankan bahwa sistem perpajakan saat ini lebih mudah melacak wajib pajak yang transparan. Pegawai dengan slip gaji bulanan, pembeli yang selalu membayar PPN, hingga pemilik rumah yang terkena PBB, semuanya menjadi target utama. Ironisnya, semakin rapi seseorang membayar pajak, semakin besar pula beban yang mereka tanggung. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat, khususnya kelas menengah yang pendapatannya jelas tercatat. Mereka sering mempertanyakan mengapa sudah patuh, namun tetap merasa diperas. Padahal, menurut Anies Baswedan, sumber kebocoran pajak sesungguhnya bukan di gaji pegawai atau struk belanja harian, melainkan pada praktik penghindaran pajak oleh korporasi besar dan individu kaya yang menyembunyikan aset di luar negeri.
Dalam kritiknya, Anies Baswedan menyebutkan bahwa “ikan besar” yang bersembunyi di kedalaman justru bebas dari beban pajak. Mereka adalah pihak-pihak yang sengaja menyamarkan transaksi, memanipulasi faktur, hingga memindahkan keuntungan ke negara lain untuk menghindari kewajiban pajak. Praktik ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga rakyat kecil yang akhirnya harus menanggung beban tambahan. Secara global, praktik penghindaran pajak semacam ini menggerus ratusan miliar dolar penerimaan negara setiap tahunnya. Indonesia pun tidak lepas dari masalah tersebut. Menurut Anies, pemerintah perlu menyelam lebih dalam dan menjaring ikan besar itu, bukan hanya fokus pada ikan-ikan kecil di permukaan. Kritik ini memperlihatkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem perpajakan agar lebih berkeadilan.
Anies Baswedan juga menawarkan tiga langkah konkret agar sistem perpajakan lebih adil. Pertama, permudah mereka yang patuh dan persulit pihak yang nakal. Menurutnya, jangan malah menambah beban pajak pada masyarakat yang sudah taat. Kedua, maksimalkan kerja sama internasional untuk melacak transaksi lintas negara yang sering digunakan sebagai cara menghindari pajak. Langkah ini penting mengingat praktik pemindahan laba ke luar negeri semakin marak. Ketiga, perbaiki sistem deteksi agar pihak-pihak yang bersembunyi di kedalaman tidak lagi lolos. Baginya, rumusnya sederhana: tutup kebocoran terlebih dahulu, baru berbicara soal penambahan beban. Dengan langkah ini, penerimaan negara bisa meningkat tanpa harus menindas rakyat kecil yang sudah taat membayar pajak.
“Baca selengkapnya: Menanti Sikap Istana Setelah KPK Umumkan Status Tersangka Immanuel Ebenezer“
Selain menyoroti sistem pajak secara umum, Anies Baswedan juga mengomentari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah yang memicu aksi protes besar. Ia menilai bahwa perumahan atau tempat tinggal sejatinya adalah hak asasi manusia yang tidak selayaknya dipajaki secara berlebihan. Pernyataan ini merujuk pada ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan bahwa rumah sebagai tempat tinggal merupakan hak dasar setiap orang. Dengan merujuk pada prinsip tersebut, Anies menegaskan bahwa kebijakan pajak atas rumah seharusnya mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak semata mengejar penerimaan, tetapi juga menjamin keadilan sosial bagi rakyat.
Anies juga mengingatkan publik bahwa saat dirinya menjabat Gubernur DKI Jakarta, ia telah menerapkan kebijakan bebas pajak untuk sebagian luas rumah warga. Melalui Pergub Nomor 23 Tahun 2022, ditetapkan bahwa 60 meter persegi pertama dari luas tanah dan 36 meter persegi pertama dari bangunan tidak dikenakan PBB. Kebijakan ini berlaku untuk semua jenis rumah, termasuk rumah mewah di kawasan elit. Menurutnya, kebijakan ini dibuat karena tempat tinggal adalah hak dasar manusia, sehingga tidak boleh sepenuhnya dipajaki. Langkah tersebut menjadi contoh bahwa pajak bisa dikelola secara adil tanpa mengabaikan kebutuhan penerimaan negara. Kebijakan ini sekaligus menunjukkan komitmen Anies dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih manusiawi.
Dalam penutupannya, Anies menegaskan bahwa fokus utama negara seharusnya adalah menutup kebocoran pajak yang ditimbulkan oleh para penghindar pajak kelas kakap. Jika hal ini bisa dilakukan, maka penerimaan negara akan meningkat signifikan tanpa harus menaikkan tarif pajak bagi masyarakat kecil. Ia juga menambahkan bahwa penguatan pengawasan jauh lebih efektif dibanding sekadar menaikkan tarif. Dengan penerimaan negara yang optimal, rakyat bisa langsung merasakan manfaatnya melalui pelayanan publik yang lebih baik. Pandangan ini sejalan dengan aspirasi masyarakat luas yang menginginkan sistem pajak lebih adil dan transparan. Bagi Anies, reformasi pajak adalah langkah penting untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan mengurangi kesenjangan sosial.