DJP Kemenkeu Bantah Isu Pajak Amplop Kondangan
Jurnal Tempo – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang akan memajaki penerimaan dari amplop kondangan. Pernyataan ini disampaikan untuk meluruskan isu yang sebelumnya beredar di publik.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Rosmauli, menyebut bahwa isu ini muncul karena kesalahpahaman mengenai prinsip dasar perpajakan. Ia menjelaskan bahwa DJP tidak memiliki rencana untuk memungut pajak dari uang hajatan, baik secara langsung maupun melalui transfer digital.
Baca Juga : Mengancam dalam Diam, Ketahui Penyebab Penyakit Diabetes Sejak Dini
Lebih lanjut, Rosmauli menyatakan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis memang bisa menjadi objek pajak. Meski demikian, tidak semua pemberian akan dikenakan pajak secara otomatis.
Menurut Rosmauli, hadiah atau pemberian uang bisa menjadi objek pajak jika memenuhi syarat tertentu. Misalnya, jika pemberian tersebut bersifat rutin atau terkait pekerjaan dan usaha, maka bisa dikenai pajak. Sebaliknya, bila bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak ada kaitan usaha, maka tidak menjadi fokus pengawasan DJP.
Ia juga menekankan bahwa sistem pajak Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana wajib pajak melaporkan sendiri penghasilannya melalui SPT Tahunan.
Rosmauli dengan tegas membantah bahwa DJP akan hadir dan memungut pajak di acara hajatan. Menurutnya, klaim tersebut tidak berdasar dan hanya menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyebut adanya isu soal pajak amplop kondangan. Ia tidak menjelaskan dari mana asal informasi tersebut, tetapi menyebutnya sebagai dampak dari hilangnya pemasukan dividen BUMN.
Mufti menjelaskan bahwa dividen BUMN kini dikelola oleh Danantara, sehingga tidak lagi masuk ke kas negara. Akibatnya, Kementerian Keuangan disebut sedang mencari alternatif pemasukan untuk menutupi defisit. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini justru membuat rakyat merasa terbebani.
Pada tahun 2025, Kementerian Keuangan diprediksi kehilangan dividen sebesar Rp90 triliun, yang sebelumnya masuk dalam kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).