Jurnal Tempo – Menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2025/2026, pemerintah mengeluarkan imbauan penerapan work from anywhere (WFA) pada 29–31 Desember 2025. Kebijakan ini bertujuan mengurangi kepadatan mobilitas masyarakat sekaligus menjaga kelancaran aktivitas publik. Namun, bagi dunia usaha, akhir tahun justru menjadi periode krusial. Transaksi meningkat, produksi dikejar, dan layanan konsumen mencapai puncaknya. Karena itu, kebijakan WFA memunculkan diskusi serius di kalangan pelaku usaha. Di satu sisi, fleksibilitas kerja dinilai relevan dengan perubahan pola kerja modern. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mengganggu roda ekonomi jika diterapkan tanpa pertimbangan sektor usaha yang beragam. Situasi inilah yang menjadi latar belakang respons Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo terhadap kebijakan pemerintah tersebut.
Sikap Apindo: Mendukung dengan Catatan Penting
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyatakan bahwa pihaknya pada prinsipnya mendukung imbauan pemerintah terkait WFA. Namun, dukungan tersebut disertai catatan agar kebijakan ini tidak menghambat aktivitas ekonomi dunia usaha. Menurut Shinta, tidak semua sektor dapat menerapkan WFA secara efektif. Ia menekankan bahwa dunia usaha memiliki karakteristik kerja yang sangat beragam, mulai dari sektor manufaktur hingga jasa langsung kepada konsumen. Oleh karena itu, kebijakan WFA perlu diterapkan secara selektif dan fleksibel. Dengan pendekatan seperti ini, perusahaan tetap dapat menjaga produktivitas tanpa mengorbankan kepentingan pekerja. Pernyataan ini mencerminkan upaya Apindo untuk menempatkan kepentingan ekonomi dan kesejahteraan tenaga kerja dalam satu garis keseimbangan yang realistis.
Tidak Semua Pekerjaan Bisa Bekerja dari Mana Saja
Dalam pandangan Apindo, WFA bukanlah solusi universal. Shinta mencontohkan pekerjaan di sektor pabrik, manufaktur, dan layanan yang berhadapan langsung dengan konsumen. Jenis pekerjaan ini menuntut kehadiran fisik di lokasi kerja dan tidak memungkinkan dilakukan dari jarak jauh. Terlebih lagi, akhir tahun merupakan masa dengan intensitas aktivitas tinggi, baik di sektor produksi maupun layanan publik. Permintaan konsumen meningkat, distribusi barang dipercepat, dan banyak perusahaan mengejar target tahunan. Jika WFA diterapkan tanpa penyesuaian, ada risiko terganggunya rantai pasok dan kualitas pelayanan. Karena itu, Apindo menilai perusahaan harus diberi keleluasaan untuk menentukan skema kerja yang paling sesuai dengan kebutuhan operasional masing-masing, tanpa tekanan kebijakan yang bersifat seragam.
“Baca Juga : Transformasi Telkom dan Harapan Baru Pemerataan Internet Indonesia”
Imbauan Kemenaker dan Perlindungan Hak Pekerja
Di sisi lain, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa imbauan WFA tidak dimaksudkan untuk merugikan pekerja. Pemerintah justru meminta agar WFA tidak dihitung sebagai cuti tahunan, karena pekerja tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, upah pekerja selama WFA diimbau tetap dibayarkan penuh sesuai perjanjian kerja. Pemerintah juga menekankan pentingnya pengaturan jam kerja dan mekanisme pengawasan agar produktivitas tetap terjaga. Dengan demikian, kebijakan WFA diharapkan menjadi bentuk fleksibilitas yang adil, bukan celah untuk mengurangi hak pekerja. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan dunia usaha dan perlindungan tenaga kerja.
WFA bagi ASN dan Dampaknya bagi Sektor Swasta
Selain sektor swasta, pemerintah juga menetapkan kebijakan WFA selama tiga hari bagi aparatur sipil negara (ASN) melalui surat edaran Kementerian PANRB. Kebijakan ini memberikan ruang bagi instansi pemerintah untuk mengatur fleksibilitas kerja dengan tetap menjaga kualitas layanan publik. Namun, bagi sektor swasta, kebijakan WFA ASN kerap menjadi rujukan moral dan sosial. Banyak perusahaan merasa terdorong menyesuaikan kebijakan internalnya agar sejalan dengan langkah pemerintah. Dalam konteks inilah Apindo mengingatkan bahwa dunia usaha memiliki dinamika berbeda. Kebijakan yang cocok bagi ASN belum tentu relevan bagi semua perusahaan swasta, terutama yang bergerak di sektor esensial dan padat karya.
“Baca Juga : Sun Life Indonesia Hadirkan Harapan bagi Korban Banjir dan Longsor di Sumatra”
Mencari Titik Temu antara Fleksibilitas dan Produktivitas
Pada akhirnya, diskusi tentang WFA di akhir Desember 2025 mencerminkan tantangan dunia kerja modern. Fleksibilitas menjadi kebutuhan, tetapi produktivitas tetap prioritas. Respons Apindo menunjukkan sikap moderat: mendukung kebijakan pemerintah, namun menekankan pentingnya penerapan yang kontekstual. Dengan dialog yang terbuka antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, kebijakan WFA dapat menjadi solusi yang saling menguntungkan. Dunia usaha tetap bergerak, pekerja merasa dihargai, dan ekonomi nasional tetap terjaga di tengah momentum penting akhir tahun.