Jurnal Tempo – Gus Miftah Mundur merupakan keputusan yang menuai Pro dan Kontra, pendakwah terkenal di Indonesia, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Utusan Khusus Presiden. Keputusan ini diambil setelah video yang menampilkan pernyataannya terhadap pedagang kecil viral di media sosial. Dalam video tersebut, Gus Miftah dianggap melontarkan kata-kata yang merendahkan seorang penjual es teh.
Keputusan mundur ini bukan tanpa konsekuensi. Sebagai Utusan Khusus Presiden, Gus Miftah sebelumnya menerima gaji dan fasilitas setara dengan menteri. Dengan pengunduran dirinya, ia melepaskan semua hak keuangan dan fasilitas tersebut.
“Baca Juga : 4.000 Rekening Bank Terditeksi OJK Atas Tindak Penipuan“
Menurut Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024, Utusan Khusus Presiden mendapatkan hak keuangan setara menteri. Gaji pokok seorang menteri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2000, yaitu sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Selain itu, menteri juga menerima tunjangan jabatan sebesar Rp 13.608.000 setiap bulan, sehingga totalnya mencapai Rp 18.648.000 per bulan.
Di luar itu, terdapat berbagai tunjangan lain, seperti tunjangan anak/istri, pensiun, serta fasilitas berupa rumah dan kendaraan dinas. Menteri juga berhak atas biaya perjalanan dinas, perawatan kesehatan, dan rehabilitasi jika diperlukan.
Namun, berbeda dengan menteri, Utusan Khusus Presiden tidak mendapatkan uang pensiun atau pesangon setelah masa baktinya selesai. Hal ini tertulis dalam Pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024.
Dengan demikian, pengunduran diri Gus Miftah berarti kehilangan semua hak keuangan dan fasilitas tersebut.
Keputusan Gus Miftah untuk mundur bermula dari kritik keras terhadap pernyataannya dalam sebuah acara tabligh akbar. Dalam acara tersebut, ia melontarkan kata-kata yang dianggap kasar kepada seorang pedagang kecil.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri, menilai pernyataan tersebut sangat melukai perasaan pedagang kecil. Sebagai pejabat publik dan tokoh agama, ucapan seperti itu dianggap tidak pantas.
“Pedagang kecil bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Pernyataan kasar seperti ini sangat disayangkan,” ujar Mansuri.
IKAPPI meminta Gus Miftah untuk memberikan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka. Langkah ini dinilai penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadapnya.
Permintaan Maaf Gus Miftah
Dilansir dari Jurnal Tempo, Gus Miftah akhirnya mengeluarkan permintaan maaf melalui sebuah video. Dalam video tersebut, ia menyatakan bahwa pernyataannya hanyalah candaan yang tidak dimaksudkan untuk menyakiti siapa pun.
“Saya, Miftah Maulana Habiburrahman, dengan kerendahan hati meminta maaf atas kekhilafan saya. Saya sering bercanda dengan siapa saja,” ujar Gus Miftah.
Permintaan maaf ini diharapkan dapat meredakan kontroversi yang telah mencoreng citranya sebagai tokoh agama. Mansuri dari IKAPPI bahkan menawarkan diri untuk memfasilitasi pertemuan antara Gus Miftah dan pedagang kecil yang bersangkutan guna menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.
Keputusan mundur Gus Miftah memunculkan beragam pendapat di masyarakat. Sebagian pihak memujinya karena berani bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, ada juga yang mempertanyakan mengapa seorang tokoh agama bisa terpeleset dalam ucapan yang tidak pantas.
Sebagai Utusan Khusus Presiden, Gus Miftah memiliki tugas menjaga kerukunan beragama dan harmoni sosial. Oleh karena itu, pernyataan yang dianggap merendahkan pedagang kecil sangat bertentangan dengan peran tersebut.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Sebagai figur yang menjadi panutan, setiap kata dan tindakan mereka akan menjadi sorotan masyarakat.
“Simak juga: Lukisan Terkutuk ‘The Crying Boy’ Sarat Atas Kutukan Ruang Mistis”
Pengunduran diri Gus Miftah dari posisi Utusan Khusus Presiden menunjukkan konsekuensi serius dari pernyataan yang tidak tepat. Dengan mundur, ia kehilangan gaji dan fasilitas setara menteri, serta tidak mendapatkan uang pensiun.
Namun, langkah ini juga menunjukkan tanggung jawabnya untuk meredakan kontroversi. Permintaan maaf yang dilakukannya melalui Jurnal Tempo menjadi awal untuk memulihkan hubungan dengan masyarakat, terutama pedagang kecil yang merasa tersakiti.
Semoga kejadian ini menjadi pengingat bagi semua pejabat publik untuk lebih bijak dalam berucap dan bertindak. Harmoni sosial dan kepercayaan masyarakat harus selalu menjadi prioritas.