Jurnal Tempo – Operasi intelijen merupakan aspek paling rahasia dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat. CIA menjadi badan utama yang menjalankan tugas ini. Dalam menghadapi negara musuh, CIA menggunakan berbagai strategi yang penuh risiko. Proses perekrutan informan bukan sekadar soal uang. Namun juga menyangkut ideologi, rasa dendam, hingga motivasi pribadi. Negara seperti Rusia, Iran, Korea Utara, dan China menjadi target utama. CIA membutuhkan sumber informasi dari dalam sistem mereka. Informasi yang valid bisa menentukan arah kebijakan Washington. Proses perekrutan pun sangat hati-hati dilakukan. Salah langkah bisa menyebabkan kematian agen di lapangan. Karenanya, CIA melatih personelnya dengan metode khusus. Pelatihan itu meliputi bahasa, budaya, dan psikologi manusia. Tujuannya agar perekrutan bisa dilakukan tanpa jejak. Operasi ini juga dilindungi berbagai protokol keamanan.
CIA memahami bahwa setiap orang punya celah. Mereka mengeksploitasi celah itu untuk merekrut informan. Misalnya dengan menjanjikan keselamatan keluarga. Atau menawarkan suaka dan ganti identitas di negara lain. Dalam beberapa kasus, mereka juga menggunakan pemerasan. Informasi pribadi dijadikan senjata untuk menekan target. Mereka menggunakan pakar psikologi dalam setiap operasi. Pakar ini membantu memahami motivasi dan tekanan emosional target. Target yang merasa tertekan biasanya lebih mudah diluluhkan. Apalagi jika mereka punya masalah internal di negaranya. CIA akan masuk lewat luka-luka personal yang belum sembuh. Teknik ini dinilai sangat efektif di banyak negara otoriter.
“Baca Juga : Arbani Yasiz Akhirnya Angkat Bicara Soal Lamaran di Jepang”
Selain pendekatan konvensional, mereka kini agresif di ranah digital. Mereka memanfaatkan darknet, media sosial, dan aplikasi terenkripsi. Target yang sulit dijangkau secara fisik dipantau secara daring. Melalui internet, Mereka bisa membangun komunikasi tanpa tatap muka. Mereka menggunakan akun palsu dengan karakter buatan. Identitas digital ini dirancang sangat realistis. AI bahkan digunakan untuk menciptakan profil palsu yang meyakinkan. Percakapan dimulai dari isu ringan sebelum masuk ke materi sensitif. Setelah target merasa nyaman, baru ada pendekatan lebih dalam. Mereka bahkan punya server khusus untuk menyimpan data komunikasi ini. Semua dilakukan agar jejak digital bisa dihapus jika perlu.
Kedutaan besar menjadi lokasi strategis bagi CIA. Di balik status diplomatik, banyak agen intelijen berkeliaran. Mereka berpura-pura sebagai atase kebudayaan atau perdagangan. Padahal, tugas utama mereka adalah mengumpulkan informasi. Termasuk melakukan perekrutan terhadap warga asing yang potensial. Diplomasi memberi perlindungan hukum bagi agen CIA. Meski begitu, jika tertangkap, negara tuan rumah biasanya akan mengusir mereka. CIA juga memanfaatkan jaringan wartawan dan LSM asing. Mereka menjadi perantara yang sulit dicurigai oleh negara musuh. Taktik ini memungkinkan operasi berjalan tanpa banyak gangguan.
“Simak juga: Komitmen Jepang melalui AZEC dan Implikasinya untuk Indonesia”
Lembaga akademik sering menjadi pintu masuk CIA. Banyak ilmuwan dari negara musuh yang mengunjungi Amerika. Mereka diundang dalam seminar atau program pertukaran budaya. Dalam suasana informal itu, CIA mulai melakukan pendekatan. Para akademisi biasanya tidak sadar sedang dijadikan target. CIA menawari mereka proyek penelitian yang menjanjikan. Perlahan mereka diarahkan untuk mengungkap data sensitif. Dunia bisnis juga tak luput dari radar CIA. Pebisnis yang sering bepergian menjadi target empuk. Mereka bisa dimanfaatkan sebagai kurir atau pengumpul informasi. Apalagi jika perusahaan mereka punya relasi dengan pemerintah.
Meski kelihatan efektif, strategi CIA ini mengandung risiko tinggi. Jika informan tertangkap, nyawa mereka bisa terancam. CIA sendiri akan menyangkal segala keterlibatan. Ini membuat banyak informan merasa hanya dimanfaatkan. Isu etika pun sering muncul dalam praktik ini. Perekrutan yang melibatkan pemerasan dianggap melanggar HAM. Namun CIA berargumen bahwa ini bagian dari perang informasi. Mereka percaya bahwa informasi bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa. Oleh karena itu, operasi tetap dilanjutkan meski kontroversial. Banyak organisasi HAM mengecam strategi semacam ini. Tapi pemerintah AS tetap memberi dukungan penuh kepada CIA. Kebutuhan akan informasi strategis dianggap lebih penting dari etika. Ini menimbulkan dilema moral di kalangan agen sendiri.
Negara tertutup seperti Korea Utara menjadi tantangan besar. Akses ke dalam negeri sangat terbatas bagi orang asing. CIA harus bekerja sama dengan negara tetangga seperti Tiongkok atau Korea Selatan. Mereka menggunakan pengungsi dan pelintas batas sebagai informan. Tapi keberhasilan operasi seperti ini sangat jarang terjadi. Sebab sistem pengawasan di Korea Utara sangat ketat. Agen CIA biasanya menyamar sebagai peneliti atau relawan. Tapi risiko tertangkap sangat besar dan bisa berujung pada penyiksaan. CIA tetap berusaha membuka celah lewat jalur non-tradisional. Salah satunya dengan menyusup lewat jaringan penyelundup barang. Strategi ini dianggap gila tapi terkadang membuahkan hasil.