Jurnal Tempo – Kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 kini menghadapi tekanan yang tidak bisa dianggap remeh. Salah satu penyebab utamanya adalah membengkaknya subsidi listrik, yang diperkirakan akan mencapai Rp 104,97 triliun. Sebagai perbandingan, alokasi awal subsidi tersebut hanya berada di angka Rp 87,72 triliun, menjadikannya yang tertinggi dalam sejarah APBN Indonesia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa lonjakan ini terjadi akibat meningkatnya jumlah pelanggan bersubsidi serta volume penjualan listrik. Meskipun demikian, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa subsidi akan disalurkan secara lebih tepat sasaran. Dengan kata lain, hanya rumah tangga miskin dan rentan yang akan mendapatkan manfaat langsung.
Namun, di sisi lain, lonjakan ini juga menuai kekhawatiran di tengah menurunnya pendapatan negara, terutama dari sektor pajak. Artinya, beban subsidi ini berpotensi memperparah ketimpangan fiskal dalam jangka panjang.
Pemerintah mencatat bahwa pelanggan dengan daya 450 VA menyerap 43,1% subsidi, diikuti oleh pelanggan 900 VA sebesar 21%. Selain itu, sektor sosial, bisnis kecil, dan industri kecil turut mendapatkan porsi, meski lebih kecil.
Seiring bertambahnya pelanggan, dari 43,43 juta menjadi 44,88 juta, dan meningkatnya penjualan dari 76,63 TWh menjadi 81,56 TWh, beban subsidi pun otomatis ikut membengkak.
Menurut Dirjen Ketenagalistrikan, Jisman Hutajulu, dua faktor utama yang mendorong pembengkakan adalah fluktuasi nilai tukar dan harga minyak mentah. Sebagai contoh, parameter makroekonomi seperti ICP diproyeksikan mencapai US$ 60–80 per barel, dan nilai tukar rupiah diprediksi berkisar Rp 16.500–16.900 per dolar AS.
Walaupun begitu, inflasi nasional masih relatif stabil pada kisaran 1,5–3,5%, namun gejolak geopolitik, seperti konflik Iran-Israel, dapat memicu lonjakan harga minyak dan berdampak langsung pada beban subsidi.
Ekonom UGM, Fahmy Radhi, menekankan pentingnya reformasi subsidi agar lebih tepat sasaran. Sebagai ilustrasi, masih banyak kos-kosan elit di Yogyakarta yang menggunakan daya 450 VA namun tetap menikmati subsidi.
Di sisi lain, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menilai bahwa pembengkakan subsidi ini menandakan lemahnya reformasi struktural sektor energi. Ia menyarankan agar subsidi dialihkan menjadi bantuan langsung berbasis data real-time, bukan lagi berdasarkan penggunaan daya listrik.
Untuk menjawab tantangan ini, PLN telah memperbaiki sistem distribusi dengan mengintegrasikan datanya bersama Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial. Dengan demikian, pelanggan yang berhak dan tidak berhak dapat dipilah dengan lebih akurat menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Selain itu, PLN juga memperbarui 39,6 juta data pelanggan dan menyerahkannya kepada Kementerian ESDM serta BPS untuk proses validasi lanjutan.
Kenaikan subsidi listrik tentu menjadi sinyal bagi pemerintah untuk mengevaluasi strategi fiskalnya. Untuk menjaga keberlanjutan ekonomi, pemerintah perlu mempertimbangkan reformasi distribusi subsidi dan menyesuaikannya dengan kondisi makroekonomi serta kapasitas fiskal negara.
Akhir kata, menjaga APBN tetap sehat bukan berarti menghentikan subsidi, melainkan menyusun ulang logika penyaluran agar lebih efisien, adil, dan tepat sasaran.