Jurnal Tempo – Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot dalam lima tahun terakhir. Fenomena ini menjadi sorotan karena meski ekonomi tumbuh, jumlah kelas menengah justru menurun, sementara masyarakat miskin dan rentan miskin meningkat. Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arief Anshory Yusuf, mengungkapkan bahwa ada tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan ini.
1. Lemahnya Transformasi Struktural Ekonomi Indonesia
Arief menjelaskan bahwa transformasi struktural yang kuat seharusnya ditandai oleh pertumbuhan sektor manufaktur. Namun, selama 15 tahun terakhir, sektor manufaktur Indonesia mengalami stagnasi. Hal ini membuat pertumbuhan tenaga kerja besar tidak terserap secara optimal di sektor dengan produktivitas tinggi.
Sebagian besar masyarakat justru bekerja di sektor tersier, seperti perdagangan kecil, yang memiliki tingkat produktivitas rendah. Situasi ini menghambat peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
“Baca juga: Kripto Dibawah Kendali Pengawasan OJK Mulai 12 Januari 2025”
2. Kapasitas Negara yang Lemah
Faktor kedua yang menjadi sorotan adalah kapasitas negara yang lemah dalam melindungi warganya. Menurut Arief, rasio fiskal Indonesia yang rendah, berkisar 9-10%, menjadi salah satu indikator utama.
Sebagai perbandingan, negara tetangga seperti Thailand memiliki rasio fiskal sekitar 16%. Kondisi ini membuat kemampuan pemerintah untuk membiayai program perlindungan sosial menjadi sangat terbatas.
Selain itu, efisiensi belanja sosial pemerintah juga menjadi masalah. Data menunjukkan bahwa 50% dari anggaran sosial tidak tepat sasaran. Akibatnya, banyak masyarakat rentan yang tidak mendapatkan bantuan sesuai kebutuhan.
3. Faktor Ketidakberuntungan Global
Arief juga menyebutkan bahwa faktor eksternal atau ketidakberuntungan turut memengaruhi merosotnya ekonomi Indonesia. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu contoh nyata, di mana banyak masyarakat kehilangan pekerjaan dan belum sepenuhnya pulih hingga kini.
Selain itu, konflik Rusia-Ukraina memperparah keadaan dengan memicu lonjakan harga komoditas global. Meski Indonesia sempat diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas, manfaat tersebut tidak berdampak luas karena sektor ini bersifat padat modal (capital intensive), bukan padat karya (labor intensive).
“Simak juga: Kota Kuno di Dasar Laut Sempat Dikira Atlantis yang Hilang”
Arief membandingkan kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2002-2019 dengan lima tahun terakhir.
2002-2019 :
– Pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5-6%.
– Kelas menengah bertambah 42 juta orang.
– Kelompok miskin dan rentan miskin berkurang 34 juta orang.
– Persentase kelas menengah meningkat dari 7% menjadi 21%.
2019-2024 :
– Kelas menengah berkurang 9,5 juta orang.
– Penduduk miskin dan rentan miskin bertambah 12,7 juta orang.
– Persentase kelas menengah turun dari 21% menjadi 17%.
Dampak pada Masyarakat
Penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi ini memperlihatkan adanya ketimpangan yang semakin tajam. Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap berada di angka 5%, dampaknya tidak menciptakan lapangan kerja yang signifikan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk mengatasi akar permasalahan.
Upaya untuk Mengatasi Masalah
Untuk membalikkan tren ini, Indonesia membutuhkan strategi pembangunan yang lebih inklusif. Penguatan sektor manufaktur, perbaikan rasio fiskal, dan optimalisasi belanja sosial adalah beberapa langkah yang dapat diambil. Selain itu, kebijakan ekonomi harus dirancang untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja produktif, terutama di sektor-sektor yang padat karya.
Penurunan kualitas ekonomi ini menjadi peringatan penting untuk segera bertindak. Jika dibiarkan, dampaknya dapat semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi Indonesia di masa depan.